Malam itu hujan deras. Ali terus mengunjungi rumah sakit tiga hari berturut-turut sejak Ainsley pingsan saat itu. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Ali terus menunggu. Dan entah mengapa saat hari kelima, Ali memutuskan untuk pergi. Tidak lagi ke rumah sakit.
Hari ke tujuh. Malam hari, sangat dingin. Arslan memasuki ruangan ICU. Adiknya masih sama. Terbaring lemah tak berdaya, dengan segala alat medis yang dipasangkan di tubuhnya. Laki-laki itu hanya bisa duduk sambil menggenggam tangan Ainsley yang dingin. Berharap tangan itu menunjukkan reaksi.
Dan malam itu, Arslan terkejut saat ia merasakan jari Ainsley yang bergerak. Ia terbangun dari duduknya, menatap wajah Ainsley. Matanya yang terpejam, perlahan membuka. Tatapan sayu yang menatap lurus ke atas kini terarah padanya. Ainsley mencoba berbicara, ia dekatkan telinganya di depan mulut Ainsley.
"... kak." Matanya membelalak. Suara Ainsley masih samar.
"... Kaka."
"... Kakak."
"Kakak."
"Iya, Kakak di sini." Arslan menggenggam tangan Ainsley dengan kedua tangannya, erat.
"... af."
"Hm?"
"Maaf...."
Arslan tidak menjawab kata maaf itu. Dia hanya... terus menggenggam erat tangan Ainsley dan sesekali mengelus kepalanya. Hingga akhirnya ia memanggil dokter. Dan tiga hari kemudian, Ainsley sudah bisa dipulangkan.
Di depan rumah sakit. Gadis itu terdiam. Tangannya memegang ujung kemeja sang kakak. Sambil menatap harap-harap cemas. Arslan yang gemas karena Ainsley tak kunjung bicara pun mencubit kedua pipi gadis itu. Ainsley meringis, marah. Namun, di mata Arslan itu lucu. Dan membuatnya ingin terus menjahili adiknya ini.
Jarinya kembali menarik ujung lengan kemeja Arslan. Ainsley menunduk, "Aku takut. Di rumah sendirian."
Astaga... Arslan pikir apa. Ternyata masalah rumah. Laki-laki itu terkekeh, sementara Ainsley menggembungkan kedua pipinya, sebal. Arslan menjawab sembari mengelus kepala Ainsley.
"Iya. Mulai hari ini Kakak tinggal sama kamu di rumah Bibi." Perlahan gadis itu tersenyum.
"Makasih," ujarnya pelan.
Arslan tersenyum, merentangkan tangan. "Peluk?" Gadis itu menggeleng dengan cepat dan pergi menuju mobil. "Ah, dasar anak remaja."
🕯🕯🕯
Tiga hari. Sudah tiga hari semenjak ia berada di rumah, tapi Ali tidak muncul. Ia tidak melihat Ali sejak pengakuannya hari itu. Ainsley duduk di kursi teras sambil memeluk lututnya. Akhir-akhir ini mood-nya memang baik, tapi ada saat ia merasa sendiri. Ia merasa ada sesuatu yang hilang.
Sesuatu yang berharga direnggut darinya.
Apa Ali malu karena kalimatnya malam itu? Padahal... Ainsley sama sekali tidak keberatan. Dia juga merasakan hal aneh bergejolak di dalam tubuhnya. Sebelum ia berhasil mengetahui apa itu, ia pingsan. Dan Ali tidak lagi muncul.
"Melamun lagi, hm?" Arslan berdiri bersandar pada kusen pintu sambil memegang sebuah kotak. Kotak miliknya.
"Itu punyaku, kan? Mau Kakak apain?" Arslan melirik kotak itu, lalu memberikannya pada Ainsley.
"Bukannya kamu sudah siap untuk ini?" Gadis itu terdiam, Arslan mengelus kepalanya dan kembali masuk.
Ia tahu. Ia tahu apa yang ada di dalam kotak ini. Ia bahkan sampai lupa kalau ia memilikinya. Semua hal yang berharga baginya ada di dalam kotak yang sedang ia pegang. Saat ia membuka tutupnya, ada cukup banyak barang di dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solitude
Teen FictionBagaimana perasaan kalian saat melihat kematian orang tua kalian sendiri? Bagi Ainsley. Rasanya sangat ... entahlah, gadis itu tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata. Gadis itu kini hidup sebatang kara. Dihantui oleh mimpi-mimpi ketika Ayah...