Mereka sama. Hidup tanpa keluarga.
Mereka sama. Hidup dengan menyimpan luka.
Dan, mereka sama. Terjebak di antara cobaan tanpa jeda.Solitude by Andhara
🕯🕯🕯
Tetesan air turun dari awan. Malam ini hujan mengguyur kota kembang itu. Arslan yang baru saja kembali dari kantornya mampir ke rumah Ainsley. Membawa martabak kesukaan sang adik. Yang kini telah habis separuh. Gadis berusia tujuh belas tahun itu sedang menonton televisi. Dengan tangan yang memegang potongan martabak dan mulut yang mengunyah martabak itu.
Arslan berkutat di dapur untuk membuat spaghetti. Kebetulan juga Ainsley belum makan malam. Beruntung gadis itu memiliki bahan makanan di kulkas. Katanya, dia ingin makan mi. Hanya spaghetti yang ada di sana.
"Gimana sekolah kamu?"
"Ntahlah." Arslan menghela napas. Mengecek kematangan mi sembari menyiapkan bumbu dan piring.
Ainsley masih sama. Menjawab pertanyaan darinya seadanya. Seringkali gadis itu tak acuh dan pergi begitu saja ke kamar. Mungkin karena hujan, dia memilih berada di ruang televisi. Menonton acara kuis yang jarang sekali diadakan. Gadis itu terlalu fokus dengan tontonan dan camilannya hingga tak mendengar ucapan Arslan. Setidaknya itu yang Arslan pikirkan.
Dia tahu. Ainsley sedang tidak baik-baik saja. Tapi, gadis itu berusaha untuk terlihat tak terjadi apa-apa. Berbeda dengan saat kepergian kedua orang tuanya. Sekarang ia lebih tenang. Dulu, mungkin karena mentalnya terguncang, Ainsley sempat beberapa kali mencoba bunuh diri. Beruntungnya, semua itu berhasil dicegah.
Dua piring spaghetti kini tersaji di hadapannya. Arslan membawa piring-piring spaghetti itu dan meletakkan salah satunya di atas meja.
"Makan."
Ainsley melirik makanan itu. Tanpa menjawab apa pun, dia langsung melahap spaghetti buatan Arslan.
Arslan tidak tahu harus bersyukur atau bagaimana. Ainsley rasanya semakin jauh. Dia memiliki firasat, bahwa suatu hari nanti, Ainsley perlahan akan menjauhinya. Dan pada akhirnya ia tidak akan memiliki kesempatan lagi. Kesempatan untuk terus bersama dengan Ainsley.
Dia melahap spaghetti sambil menatap adiknya yang fokus pada televisi. Begitu sampai spaghetti-nya habis tak bersisa. Membuatnya kehilangan alasan untuk berada di rumah itu malam ini. Ainsley menatap seolah menyuruhnya pulang ke rumahnya, rumah yang berjarak lima langkah di seberang rumah ini.
Dengan berat hati, laki-laki itu pergi meninggalkan Ainsley sendiri. Gadis itu, kembali ke kamarnya. Melompat ke atas tempat tidur, menutup diri dengan selimut. Mengintip, menatap langit-langit kamar. Kembali menarik selimutnya lebih tinggi. Terlelap. Menjelajahi alam mimpi.
🕯🕯🕯
"Lagi-lagi kamu sendiri." Angin berhembus. Dan dia datang.
Ainsley menatap sendu ke arah Xavier yang melayang beberapa langkah. Hantu laki-laki itu berjalan menapaki udara, mendekatinya. Ainsley mendongak, jarak wajahnya dan wajah Xavier dekat sekali. Tatapan Xavier masih sama. Tidak bisa ia artikan.
"Kamu gak punya kerjaan lain selain ke sini setiap jam istirahat, hah?" Hantu laki-laki itu mengernyit.
"Harusnya aku yang tanya begitu. Kenapa kamu terus sendirian di sini padahal akhirnya sudah punya teman?" Ainsley menunduk.
"Aku tidak tahu."
Angin kembali berhembus.
"Seandainya ...." Suara gadis itu mengudara. "Seandainya mereka semua masih di sini. Seandainya saja orang yang kukenal tidak ada yang mati. Seandainya saja begitu, apa menurutmu semua ini akan berbeda?" Xavier terdiam sejenak. Duduk di dinding pembatas di sebelah Ainsley.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solitude
Ficção AdolescenteBagaimana perasaan kalian saat melihat kematian orang tua kalian sendiri? Bagi Ainsley. Rasanya sangat ... entahlah, gadis itu tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata. Gadis itu kini hidup sebatang kara. Dihantui oleh mimpi-mimpi ketika Ayah...