Dia pergi, menyisakan duka yang entah kapan hilangnya.
Solitude by AndharaRP
🕯🕯🕯
Bak tubuh tanpa nyawa. Itulah kalimat yang cocok untuk diberikan pada Ainsley sekarang. Kehilangan sahabat satu-satunya membuat gadis itu amat sangat terpukul.
Sejak kemarin. Matanya tidak pernah terpejam. Mulutnya tidak pernah mengunyah. Matanya tidak pernah berhenti meneteskan air mata.
Baginya, Batavia adalah sahabat terbaik yang pernah ada. Ainsley tidak pernah merasa menyesal sudah mengenal gadis itu. Tapi sekarang dia menyesali sesuatu.
Kenapa tidak ia larang saja gadis itu. Kenapa ia membiarkannya pergi. Seharusnya Ainsley tidak membiarkan gadis itu pergi sendiri. Seharusnya dia tidak menoleh saat anak kecil itu menarik rok sekolahnya. Bukankah dengan begitu dia bisa mencegah Batavia menyelamatkan nyawa anak kecil di sana?
Bukankah dengan begitu Batavia masih berada di dekatnya? Bukankah dengan begitu Batavia masih ada di sini. Tidak pergi. Tidak meninggalkannya. Tidak meninggalkan semuanya.
Gadis itu, masih terlalu dini. Masih terlalu cepat untuk pergi. Ainsley terus menyalahkan diri. Tak beranjak dari rumah sakit. Sampai akhirnya tubuh Batavia sudah boleh dipulangkan.
Tubuh yang sebelumnya bernyawa. Sekarang sudah berubah sangat pucat. Tidak akan ada lagi tawa yang menghiasi wajah itu. Tidak akan ada lagi orang yang mengeluh karena belum mengerjakan tugas. Dan tidak akan ada lagi yang menemaninya di sekolah.
Bukankah dunia terlalu kejam? Ah... atau memang dirinya yang tidak tahu apa-apa. Dunia itu sudah kejam dari dulu.
Hanya karena seorang ibu yang lalai menjaga anaknya, nyawa seseorang harus melayang. Sekarang... Ainsley harus menyalahkan siapa lagi selain dirinya? Dia butuh pelampiasan. Dia ingin melampiaskan segalanya. Tapi pada siapa?
Ibu dari anak yang diselamatkan Batavia sudah meminta maaf. Walaupun begitu... memangnya Batavia akan kembali? Memangnya itu bisa membuat Tavi-nya hidup lagi?
"Sayang, sekarang ganti baju dulu, ya? Dari semalam kamu belum ganti baju. Padahal baju kamu basah." Ainsley menatap sang ibu tanpa minat. Kemarin dirinya menerobos hujan dan langsung mendekap tubuh Tavi. Seluruh tubuhnya basah karena hujan. Seragamnya terkena darah Tavi yang berasal dari kepala gadis itu.
Gadis itu tidak merespon, kembali menunduk. Hancur. Dia... baru pertama kali ia merasa kehilangan. Seperti inikah rasanya? Sakit.
Lima menit kemudian, Ainsley berdiri. Mengambil baju yang dibawa oleh sang ibu. Pergi ke toilet. Setelah itu jenazah Batavia sudah dalam persiapan untuk dibawa pulang. Sepanjang itu, Ainsley tidak lagi menangis.
Banyak orang yang melayat ke rumahnya. Bahkan teman-teman sekelas pun ikut pergi ke rumah Batavia. Mengucapkan kalimat duka pada keluarga yang ditinggalkan. Menguatkan mereka. Memberikan semangat hidup.
Ainsley tidak beranjak dari tempatnya. Gadis itu duduk di samping tubuh Batavia dibaringkan. Hingga akhirnya Batavia dibawa ke tempat pemakaman saat penggalian makam selesai.
Gadis itu mengambil tempat paling belakang. Tidak sanggup jika harus melihat sahabat satu-satunya dipulangkan ke peristirahatan terakhirnya. Ainsley baru mendekati makam itu saat pemakaman selesai dilaksanakan dan hampir semua pelayat pulang. Hanya tinggal keluarganya dan juga keluarga Batavia.
"Ikhlaskan Batavia, Sayang." Ibunya mengelus punggungnya pelan. Tersenyum tipis, masih ada gurat sendu di wajah wanita itu. Dia juga merasa kehilangan. Mungkin tidak sedalam Ainsley, atau keluarga Batavia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solitude
Teen FictionBagaimana perasaan kalian saat melihat kematian orang tua kalian sendiri? Bagi Ainsley. Rasanya sangat ... entahlah, gadis itu tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata. Gadis itu kini hidup sebatang kara. Dihantui oleh mimpi-mimpi ketika Ayah...