S12 - Kata Yang Tak Terucap

1 1 0
                                    

Mungkin tak pernah ada yang ingin hidup bahagia atas dasar kebohongan semata. Tapi, walau lebih baik, kejujuran yang menyakitkan itu juga tidak banyak yang mau.

Solitude by Andhara

🕯🕯🕯

Tidak sulit memahami maksud dari surat-surat itu. Tapi, sangat sulit baginya untuk menerima kenyataan yang ada; Kenyataan bahwa dirinya tidak lagi memiliki keluarga. Mereka semua sudah tiada. Padahal ia pikir Arslan-lah satu-satunya yang tersisa. Ternyata semua hanya angan belaka. Arslan bukan saudara kandungnya. Mereka memiliki darah yang berbeda. Mereka bukan 'keluarga'.

Ainsley terus bertanya-tanya, mengapa hal ini disembunyikan darinya. Apakah karena ia masih kecil? Bahkan anak-anak memiliki hak untuk tahu. Tidakkah mereka tahu itu?

Malam itu, hujan turun sampai pagi tiba. Ainsley terbangun dengan mata bengkak. Pukul delapan. Dia tidak pergi ke sekolah. Terlalu lelah membuatnya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Arslan pun tidak datang padanya tadi malam. Dia tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan di rumah seberang.

Wanita yang kemarin ia temui, pasti bermaksud mengatakan semua ini. Dia pasti membenci Ainsley karena Ainsley membenci Aisha yang jelas-jelas tidak memiliki kesalahan apa pun. Kepada siapa ia harus meminta maaf? Arslan? Wanita itu atau... Aisha?

Di sisi lain, Arslan baru saja mampir ke toko bunga. Hujan masih turun walau sudah sedikit reda. Laki-laki itu berlari ke dalam mobil, mulai melajukan mobil ke arah sekolah. Ia belum mengecek keadaan Ainsley hari ini. Gadis itu pasti sudah berada di sekolah.

Awalnya ia pikir begitu, tapi teman-teman kelas Ainsley bilang gadis itu tidak masuk. Tidak ada kabar apa pun. Bergegas ia pergi ke rumah. Kosong. Ainsley tidak ada di sana. Arslan panik. Sudah berjam-jam ia keliling kota, tapi tidak membuahkan hasil apa-apa. Laki-laki itu frustrasi. Ponsel Ainsley juga mati.

"Ainsley, kamu di mana?"

Bagaimana jika adiknya itu dalam bahaya?

Bagaimana jika Ainsley sedang kesulitan di luar sana?

Apa yang membuat gadis itu pergi dari rumah tanpa kabar seperti ini?!

Berjam-jam berlalu. Dan tanpa ia sadari, malam telah tiba. Dan Arslan belum menemukan tanda-tanda keberadaan Ainsley. Ia benar-benar tidak tahu lagi harus mencari ke mana. Saku celananya bergetar. Arslan merogoh ponselnya, nama Melisya terpampang di layar.

"Bagaimana?"

"Ketemu. Di rumah sakit."

Matanya membelalak. Arslan langsung bergegas ke rumah sakit yang disebutkan Melisya. Ainsley ditemukan pingsan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Di Jakarta. Pantas saja Arslan tidak menemukan gadis itu. Ternyata sejak awal Ainsley tidak ada di kota yang sama dengannya.

Perjalanan yang memakan waktu sekitar empat jam itu ia singkat menjadi dua jam saja. Percayalah, Arslan membawa mobil sudah seperti sedang bermain kejar-kejaran dengan malaikat maut. Tapi, sepertinya kali ini ia yang mengejar malaikat mautnya. Jika ia tidak beruntung, mungkin saja nyawanya sudah melayang karena kecelakaan.

Arslan menemui Melisya di lobi. Ainsley masih di UGD. Sedang akan dipindahkan ke ruang inap. Laki-laki itu terdiam menatap wajah pucat sang adik. Terlalu pucat. Tidak ada rona di wajahnya.

"Sepertinya dia mencoba menghubungi kamu. Tapi, tidak kamu angkat." Melisya memberikan ponsel Ainsley padanya. Arslan terkekeh.

"Aku lupa. Ponselku yang itu tidak terbawa." Tawanya terdengar miris. Menyedihkan. Melisya hanya menatapnya tanpa berucap. Sebelum akhirnya ia menjauh, membiarkan Arslan sendiri di sana.

SolitudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang