S13 - Hujan Malam Ini

2 1 0
                                    

Rintik hujan itu... sampai kapan ia akan terus turun?

Solitude by Andhara.

🕯🕯🕯

Ali... sudah tidak ada?

"Jangan bercanda. Maksud kamu bukan ke arah situ, kan? Ali pernah bilang dia mau ke Jerman. Maksud kamu dia sudah nggak ada di Jakarta, kan? Kamu tahu kalau aku juga tahu itu." Hana menggeleng.

"Ainsley... aku minta maaf."

"Buat apa kamu minta maaf? Semua baik-baik aja, kan?" Lagi-lagi Hana menggeleng pelan. Dia menenangkan Ainsley. Namun, kentara sekali Hana pun sedang gelisah.

"Satu hari setelah kejadian yang menimpa mendiang orang tua kamu, Ali mengalami kecelakaan."

Ainsley tercekat. "Apa ...?" Matanya membelalak. Gadis itu bangkit. Apa mungkin ...?

Dia berlari meninggalkan kedai. Mengabaikan Hana yang berteriak memanggilnya. Ainsley berlari, ke arah rumah pria itu. Masih ia ingat dengan jelas, mimpi yang samar itu. Aroma hujan, langit malam, ramai orang, dan sebuah kendaraan yang terjungkir balik.

Apa mungkin itu bukan hanya mimpi belaka? Apa ini ada kaitannya dengan Ali? Lalu Xavier? Siapa dia? Ainsley tidak bisa mengingat wajah Ali. Kenapa? Padahal Ali sangat membantunya saat ia susah. Walau hanya sebentar, tapi perhatian yang Ali berikan sangat berarti baginya.

Tapi kenapa laki-laki itu harus pergi?

"Tolong jangan mati."

Ternyata itu adalah kalimat yang diucapkan oleh Ali.

"Bodoh. Jika kamu bilang begitu, seharusnya kamu pun jangan mati. Ali bodoh." Ainsley berhenti di salah satu halte bus. Dia mengusap air matanya. Memeriksa aplikasi peta, perumahannya sudah dekat. Hanya tinggal berjalan beberapa menit lagi.

Rumah itu sudah di depan matanya. Ainsley memencet bel. Siapa pun yang lihat penampilan Ainsley sekarang, mereka pasti akan menganggap dia menyedihkan. Seseorang keluar dari pagar, satpam menyuruhnya masuk setelah ia membujuk begitu keras.

Ainsley sekarang berada di ruang tamu rumah itu. Dia berjalan ke arah salah satu meja yang berada di dinding. Sebuah foto yang dipajang di atas meja itu. Tangannya gemetar.

"Ini Ali? Atau Xavier?"

Wajah mereka mirip.

"Maaf, siapa ya?" Gadis itu berbalik. "Oh, kamu yang saya lihat di makam tadi, bukan?" Perlahan, ia mengangguk. "Ada perlu apa?"

"Saya mau tanya." Ainsley menunduk. "Apa ini rumah Ali?"

Pria itu sedikit terkejut. "Ah, itu... benar juga. Mari duduk dulu. Sepertinya pembicaraan kita akan panjang."

Gadis itu menurut. Secangkir teh hangat diantarkan dan diletakkan di hadapannya. Pria tadi menyuruhnya untuk minum lebih dulu, gadis itu manut.

"Saya... ingin tanya keadaan Ali." Pria itu tersenyum. Tatapan matanya terlihat sayu.

"Ali suka bunga lili. Karena ibunya juga menyukai bunga itu. Saya selalu pergi ke makamnya dengan membawa buket bunga lili putih. Saya harap setidaknya dia tenang di sana." Saat pria itu menatap Ainsley, Ainsley sudah mengeluarkan air mata. Wajahnya terlihat sangat terkejut. Bahkan gadis itu tidak berkedip.

Ainsley menunduk. "Saya pikir Ali sedang di Jerman."

"Memang sudah di sana. Nama kamu Ainsley, kan?" Gadis itu mendongak, bagaimana pria ini tahu? "Ali selalu bercerita tentang kamu. Dia juga sempat menunjukkan foto kamu. Bahkan Saya nggak ingat sejak kapan dia mulai melakukan itu. Mungkin sejak kalian kelas 10?"

SolitudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang