Pada akhirnya, dia memilih pergi dengan cara yang membuat orang-orang tak bisa melihatnya lagi.
Solitude by Andhara.
🕯🕯🕯
Brak.
Bugh!
"Kembalikan." Ainsley menatap ke bawah—ke arah siswa yang baru saja ia pukul sampai terjatuh. Gadis itu berjongkok, menyamakan tingginya dengan posisi laki-laki yang sudut bibirnya berdarah. Pukulan Ainsley lumayan telak.
"Ah, ribet banget, sih. Gue kan cuma pinjem buku lo doang. Lagian gak lo pakai juga, kan?" Gadis itu tidak menjawab ucapannya. Kini mereka sudah menjadi pusat perhatian di kelas. Lagi-lagi Ainsley membuat keributan. Salahkan anak itu yang memancing emosinya.
"Meminjam berarti meminta ijin. Lo bahkan gak bilang apa-apa ke gue ataupun minta ijin gue untuk ambil buku itu. Yang lo lakuin sama aja kayak maling."
"Gue gak maling!"
Pak!
Siswa itu melempar buku catatan Ainsley, dan tepat mengenai wajah gadis itu. Kemudian dia pergi, meninggalkan kelas entah ke mana. Ainsley mengambil bukunya, menatap orang-orang yang sedari tadi menonton. Gadis itu berdecak, dia berjalan ke luar kelas. Mencari kesunyian.
"Kenapa kamu pukul dia cuma sekali?"
Ah, dia lupa kalau dia tidak akan pernah merasa damai. Hantu laki-laki yang masih tidak ia ketahui namanya itu terus mengikuti. Saking seringnya, kali ini Ainsley tidak terkejut jika hantu laki-laki itu muncul tiba-tiba seperti ini. Mungkin karena sudah terbiasa dengan kejadian yang terjadi.
Mengabaikannya, Ainsley melipat kedua tangan dan menenggelamkan kepalanya di antara lipatan tangan itu. Sekarang dia berada di perpustakaan. Mencari tempat sejuk dan tidur dengan kepala yang diletakkan di atas meja. Perpustakaan terlalu sunyi untuk mereka yang suka keributan. Dan menyenangkan untuknya yang tidak suka keramaian.
Ditambah tidak pernah ada yang mengganggunya selain penjaga perpustakaan di sini. Jangan lupakan hantu laki-laki itu. Menyebalkan! Ainsley bahkan tidak bisa menikmati waktu sendirian.
"Sialan." Hantu laki-laki itu tidak terkejut jika Ainsley mengeluarkan kata atau kalimat kasar dari mulutnya. Mungkin dia juga sudah mulai terbiasa.
"Katanya hari ini kamu pulang cepat?" Ainsley tidak menjawabnya.
"Omong-omong, bagaimana dengan laki-laki itu?" Tentu saja yang ia maksud adalah Arslan. Ainsley selalu menjadi sensitif jika dia secara langsung mengatakan nama laki-laki itu atau menyebutnya dengan 'Kakak Ainsley'. Hantu laki-laki itu ikut melipat tangan, meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan. Matanya dan mata Ainsley saling bertatapan.
Ternyata gadis itu tidak memejamkan matanya. Atau mungkin tidak bisa karena terlalu berisik?
"Sejak kamu bertengkar dengannya hari itu, dia tidak pernah lagi mengintai rumahmu. Bukankah sekarang kamu jadi sedikit lega?" Ainsley menatap matanya lekat. Mata biru itu berkilat.
"Namamu."
"Ya?" Hantu laki-laki itu menunjukkan ekspresi bingung.
"Siapa nama kamu. Kamu tahu banyak tentang aku. Tapi aku bahkan gak tahu namamu." Hantu laki-laki itu mengerjap. Berdiri tegak, Ainsley tetap pada posisinya. Arah pandangnya mengikuti hantu laki-laki itu.
"Yah... namaku gak terlalu penting." Hantu laki-laki itu menatapnya, dengan tatapan sayu. "Panggil aku Xavier."
"Terlalu barat." Xavier membelalakkan matanya. "Tapi aku maklumi, soalnya matamu juga gak seperti milik kebanyakan orang sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Solitude
Teen FictionBagaimana perasaan kalian saat melihat kematian orang tua kalian sendiri? Bagi Ainsley. Rasanya sangat ... entahlah, gadis itu tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata. Gadis itu kini hidup sebatang kara. Dihantui oleh mimpi-mimpi ketika Ayah...