"Orangtua gue meninggal karena kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu. Kabarnya memang karena mesin pesawat yang udah tua." Ali menatap Ainsley sambil tersenyum. "Tapi ternyata di sana ada bom yang sudah dipasang seseorang karena musuhnya ada di pesawat yang sama." Ainsley membelalak.
"Berita ini nggak banyak orang tahu. Bahkan polisi dan tim SAR pun nggak tahu." Ainsley masih setia mendengarkan. "Waktu itu gue suruh mereka liburan ke luar negeri. Akhirnya mereka nurut. Dan suatu hari gue sakit. Demam sudah tiga hari. Mereka pesan tiket mendadak. Langsung terbang balik ke Indo. Dan ya ... mereka nggak beruntung.
"Dan itu semua karena gue. Andai gue nggak sakit. Andai gue nggak minta mereka liburan, mereka nggak akan pergi selamanya." Sampai saat itu, Ainsley tidak bisa buka suara. "Gue depresi waktu itu, Ain. Tapi, banyak yang dukung gue dan bantu gue bangkit. Kakek Nenek gue. Mereka sekarang udah nggak ada."
Ainsley menatap lelaki itu ragu. "Al ...."
"Ain, gue juga nggak sekuat yang lo kira. Butuh proses buat gue bangkit dari keterpurukan itu. Semua butuh waktu, Ain."
Hening.
Hujan deras mulai reda. Dan langit mulai gelap.
"Sudah. Ayo pulang. Nanti kemalaman." Ali berdiri dan mengulurkan tangannya, disambut hangat oleh Ainsley. Keduanya kembali menaiki motor itu. Ali mengantar Ainsley sampai rumahnya.
"Al, makasih buat hari ini." Ali menerima helm yang Ainsley berikan.
"No problem, seneng bisa lihat lo senyum lagi." Gadis itu tersenyum tipis. "Ini bakal jadi hari terakhir kita ketemu."
"Kenapa?"
"Besok siang gue bakal berangkat ke UK. Ada Om di sana."
"Memangnya nggak nunggu lulus dulu?" Lelaki itu menggeleng.
"Gue bakal lanjut sekolah di sana." Ainsley menunduk. Dia akan kehilangan teman 'lagi'. "Jangan sedih begitu. Gue rasa kita juga nggak terlalu dekat. Gak usah khawatir, gue bakal balik lagi ke Indo, kok."
"Serius?"
Ali mengangguk dua kali, "hm." Lelaki itu kembali menyalakan mesin motor. "Gue pergi, ya. See you."
"See you, Ali." Motor lelaki itu mulai menjauh, meninggalkan Ainsley yang lima menit kemudian masuk ke dalam rumahnya dan mendapat banyak pertanyaan dari orangtuanya yang ternyata sudah mengintip sejak tadi.
Ternyata keduanya pulang lebih awal.
🕯🕯🕯
Paginya Ainsley bersiap untuk pergi ke sekolah. Gadis itu bangun lebih awal hari ini. Entah kenapa, kata-kata Ali selalu bisa menyemangatinya. Setidaknya, dia tahu bahwa ada orang yang bisa melalui ujian yang lebih berat dari ujian yang ia hadapi sekarang.
Ainsley tidak pernah bisa membayangkan bagaimana kehidupannya jika orangtuanya pergi. Karena dia ... sudah tidak memiliki siapa pun lagi. Ayahnya anak tunggal, adik dari ibunya sedang berada di luar negeri. Kakek nenek sudah tidak ada.
Setelah selesai, gadis itu turun ke bawah. Berjalan menuju meja makan yang sudah tersaji roti lapis yang dibuat oleh sang ibu.
"Pulang sekolah nanti, Ain ada kerja kelompok."
"Begitu. Mau bawa bekal lebih?" Ainsley menggeleng. Dia menatap sang ayah.
"Iya, nanti uang sakunya Ayah tambah." Gadis itu nyengir.
"Makasih, Ayah." Sang ayah hanya mampu geleng-geleng. Mereka lega, setidaknya hari ini Ainsley tampak lebih ceria dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solitude
Teen FictionBagaimana perasaan kalian saat melihat kematian orang tua kalian sendiri? Bagi Ainsley. Rasanya sangat ... entahlah, gadis itu tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata. Gadis itu kini hidup sebatang kara. Dihantui oleh mimpi-mimpi ketika Ayah...