S4 - Tak Ada Lagi Cahaya

10 2 5
                                    

Percaya, deh. Ini pertama kalinya aku—hampir—nangis pas nulis scene sad di wattpadㅠㅠ. Gara-gara nulisnya sambil denger lagu sad juga, sih. Kalau kalian nggak nangis kayaknya akunya aja yang lagi sensi? Atau malah cengeng😭🤣

🕯🕯🕯

Aku mencoba tetap bersinar walau redup. Berusaha menerangi jalan mereka yang dipenuhi gulita. Walau pada kenyatannya, hidupku saja tanpa cahaya.

Solitude by Andhara.

🕯🕯🕯

Tangannya dengan cepat meraba lantai untuk mengambil ponselnya. Ia mengabaikan degub jantung yang semakin cepat dan getaran tubuhnya yang semakin hebat. Juga rasa pening di kepala akibat terlalu lama mencium aroma darah secara langsung.

"Tolong, tolong orangtua saya! Saya ... saya mohon. Kirim ambulans kemari, saya mohon! Tolong selamatkan mereka .... Tolong selamatkan mereka!" Gadis itu bicara sambil sesenggukan. Resepsionis yang menerima telepon langsung melapor dan mengirim ambulans ke rumah gadis itu.

Ponselnya kembali jatuh. Genggamannya melemas. Tubuhnya sudah tidak sanggup untuk bangkit. Ayahnya sudah tidak ada. Ayahnya sudah tidak bernyawa. Hanya tinggal ibunya. Ibunya ... harus selamat. Dia tidak mau sendirian. Sekarang dia hanya punya ibunya.

Gadis itu menggenggam erat tangan sang ibu yang penuh darah. Jemarinya bergerak. Ainsley tersentak. Dengan pandangan yang masih mengabur karena air mata tertumpuk di pelupuk, Ainsley bisa melihat sang ibu yang menatapnya sayu.

"Ainsley ...."

"Ibu ...!" Irisnya bergetar, begitu pun dengan tubuhnya. Wanita itu tersenyum hangat, walau tubuhnya sudah tidak sehangat itu. Tangannya terulur menyentuh pipi kiri Ainsley, meninggalkan noda darah. Dengan cepat gadis itu pun menggenggam kembali tangan sang ibu. "Ibu ...." Suaranya tidak pernah separau ini.

"Ainsley ... maaf ...." Gadis itu menggeleng dengan cepat. "Maafkan Ibu, Sayang ...." Ainsley benar-benar tidak bisa menghentikan air matanya.

"Jangan minta maaf. Ibu nggak punya salah." Suaranya semakin terdengar parau. Batinnya benar-benar hancur melihat keadaan kedua orangtuanya. Dan ibunya yang sedang sekarat.

Adakah yang lebih mengerikan daripada ini?

"Maaf, ya. Ibu nggak bisa temani kamu terus ...."

"Ibu ngomong apa, sih?! Jangan bicara seolah-olah Ibu mau pergi! Aku nggak ijinin Ibu pergi! Pokoknya Ibu harus terus sama aku. Ibu harus bertahan. Ayah udah pergi. Ibu jangan ... jangan ... jangan tinggalin aku ...." Ainsley menunduk. Terisak. Sesenggukan.

Ibu jari Reanna—ibu Ainsley—bergerak menghapus air mata gadis itu. "Jangan nangis ... anak Ibu kuat, kok. Kamu harus bertahan, ya, Sayang?" Senyum itu semakin melebar. Penuh kehangatan dan ketulusan. Ainsley tidak suka. Kalimat itu seolah akan menjadi kalimat perpisahan.

"Ibu yang harus bertahan! Pokoknya harus! Aku ... gimana aku lanjutin hidup kalau Ibu nggak ada, hm?" Ibu jari Ainsley mengelus punggung tangan sang ibu yang berada di pipinya.

Reanna hanya tersenyum. Tidak ada respon lain. Perlahan, matanya menutup. Ainsley mencoba menetralkan degub jantungnya. Mata Reanna menutup. Dadanya sesak. Kenapa? Kenapa?! Tangan sang ibu yang berada di pipinya terjatuh.

Iris cokelat tua itu bergetar. "Ibu! IBU! IBU BANGUN, BU! IBU! Ibu nggak boleh tidur! Sebentar lagi ambulansnya datang, Bu. Jangan tinggalin aku sendirian, Bu. Ibu! Bangun, Bu! Banguuuuuun ...!"

SolitudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang