Sesak. Hujan membuatnya sesak. Entah sejak kapan ia mulai merasa pusing. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Ali perlahan memudar. Tidak terdengar. Sampai akhirnya ia merasa sangat amat lemas seperti akan terjatuh. Dan ia mendengar sebuah seruan yang memanggil namanya.
Ainsley tidak tahu apa yang terjadi berikutnya. Gadis itu tak sadarkan diri.
Ali? Panik bukan main. Dia mencari-mencari ponsel Ainsley, dan menemukannya di saku gadis itu. Entah apa ia harus mensyukuri dirinya yang bisa menyentuh barang atau tidak. Hanya ada beberapa nomor kontak di sana.
Ayah.
Ibu.
Bibi.
Batavia.
Arslan.
Hah! Hanya ada satu orang yang masih hidup. Apa gadis ini benar-benar tidak menyimpan nomor teman kelasnya? Teman selain Batavia?
Ali tidak terlalu mempedulikan itu. Dia langsung menelepon Arslan. Panggilan ke sepuluh, masih tidak diangkat. Ali panik. Tidak ada yang bisa melihatnya. Dia tidak bisa meminta bantuan dan di sini sangat sepi. Sebelum akhirnya ia lebih frustrasi, seseorang datang sambil berlari ke arah mereka.
"Ainsley?!" Ali mengenalnya, dia Hana.
"Aduh, aku harus apa. Minta tolong? Atau telepon ambulans? Ah, emm... berpikir berpikir berpikir!" Pada akhirnya gadis itu menelepon ambulans dan beberapa orang datang menghampiri karena wajah Hana yang terlihat panik.
Tak lama kemudian, ambulans datang. Ali melihat Ainsley yang dipindahkan ke dalam. Hana ikut masuk ke dalam mobil ambulans itu. Ali berbalik, menghilang di tengah hujan. Menyisakan sebuah angin kecil yang menyentuh seseorang. Orang itu berbalik, merasakan hawa dingin di lehernya. Matanya menatap sekitar, menelisik. Kemudian dia pergi, ke arah supermarket itu.
Di rumah sakit, Ainsley langsung ditangani di UGD. Hana tidak tahu harus menghubungi siapa. Dia mencoba menghubungi nomor Arslan di ponsel Ainsley. Namun, laki-laki itu tidak menjawab. Setahunya, hubungan Ainsley dan Arslan tidak begitu baik. Tapi, Hana benar-benar tidak tahu harus menghubungi siapa.
Dia berdiri di depan meja resepsionis. Mengurus administrasi sebagai wali sementara. Ayolah, dia masih SMA. Itu hanya sementara sampai ia bisa menghubungi keluarga Ainsley.
Keluarga.
Bukankah Ainsley hanya memiliki kakaknya?
"Apa kamu... kenal Ainsley?" Hana berbalik, seorang wanita dua puluh tahunan menyapanya. Bertanya sedang apa ia di rumah sakit ini. Hana menjawab seadanya, tidak bisa berbohong.
Melisya mengaku sedang mencari Ainsley, Hana langsung mengarahkan Melisya menuju UGD. Dokter baru saja selesai menangani gadis ini dan Ainsley masih belum sadarkan diri. Hana masih menunggu di lobi rumah sakit sementara wanita itu menghubungi Arslan dan menyuruhnya ke sini.
Malam hampir larut. Melisya menyuruh Hana pulang, tapi gadis itu tidak mau. Dia masih merasa bersalah. Ainsley pasti seperti ini karena ucapannya mengenai Ali. Tidak seharusnya ia berkata seperti itu pada Ainsley yang masih berduka.
Tapi, yang tidak disangka oleh Hana adalah Ainsley yang terlihat seperti dekat dengan Ali. Padahal yang ia tahu Ali terlalu enggan untuk mengajak bicara Ainsley. Sementara Ainsley terlalu malas untuk bersosialisasi dengan teman sekelasnya.
Saat ia keluar dari rumah sakit. Seseorang berlari ke dalam. Hana melihat wajahnya. Itu Arslan. Saat itu dia berpikir, mungkin semua akan baik-baik saja. Karena ada Arslan di samping Ainsley.
Yang mungkin bisa menenangkan gadis itu.
🕯🕯🕯
Sudah tiga hari Ainsley di rawat di rumah sakit. Sudah tiga hari pula, ia tidak melihat Ali. Ke mana perginya laki-laki itu? Ainsley yakin Ali adalah orang pertama—ah, atau mungkin arwah pertama?—yang menemui dirinya yang tengah pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solitude
Fiksi RemajaBagaimana perasaan kalian saat melihat kematian orang tua kalian sendiri? Bagi Ainsley. Rasanya sangat ... entahlah, gadis itu tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata. Gadis itu kini hidup sebatang kara. Dihantui oleh mimpi-mimpi ketika Ayah...