Kenalan Lama Part 3

31 4 0
                                    

Mata Saka melebar, melihatnya aku sadar ia pun merasakan takut yang sama. Kalau aku sendirian, aku sudah berbalik arah. Menjauh dari tempat ini dengan seluruh tenaga. Aku mulai mencari pilihan terbaik kami di situasi ini. Jika kembali menyusuri jalur yang kami lewati tadi, pastinya akan memakan banyak waktu, tak mungkin sampai rumah sebelum matahari tenggelam. Arus sungai di sini pun terlalu deras untuk menyebrang, aku mungkin bisa, tapi aku bersama Saka sekarang. Memasuki hutan di samping kami pun hanya akan buang tenaga dan waktu, tebing yang kupanjat ini berdiri semakin tinggi di dalam hutan, belum lagi kalau macan ini mendengar gemuruh kami menembus rerumputan lebat. Jalan tercepat dan teraman memang lurus, yang terhalang oleh seekor binatang buas.

Aku kembali mengintip situasi di depan. Mengangkat kedua mataku ke atas tembok tempat kami menangkring. Aku bisa melihat penghalang jalan kami dengan lebih jelas. Berbaring menyamping tepat di tengah jalan, seekor harimau. Ayah dulu sering cerita tentang harimau. Tentang bagaimana ia bertemu mereka selagi berburu. Sangat jarang sebenarnya. Ayah bilang mereka sebetulnya lebih memilih untuk menjauh dari kita, ketimbang menyerang. Terkecuali kalau kita mengganggu santapan mereka. Mungkin apa yang ayah bilang benar, ini pun baru kedua kalinya aku bertemu harimau di hutan ini. Hewan di depan sepertinya tertidur pulas, aku tak melihatnya bergerak, bahkan kupingnya tidak mencuat-cuat di tengah suara hutan yang bising dengan nyanyian burung.

Perhatianku terlalu terpaku pada harimau di depan sampai aku terkejut dengan suatu tarikan di kaki. Aku melihat ke bawah, Saka menarik-narik celanaku, ingin memanggil tanpa membuat kegaduhan. "Gimana ini Bang?" bisiknya.

Untuk sesaat aku lupa Saka sedang bersamaku. Selama ini Saka menganggapku abangnya yang tak kenal rasa takut. Kalau memang aku seberani diriku di bayangan Saka, kakiku pasti tak gemetar sekarang. Tapi kami harus terus bergerak. Matahari sudah menyelesaikan dua pertiga jalannya, tidak akan kembali ke puncak.

Aku menjawab Saka, "Tunggu di sini." Aku menyelesaikan panjatanku, kini berdiri di daratan yang sama dengan sang harimau tertidur. Aku bergegas bersembunyi di salah satu pohon di samping sungai. Bersandar di tubuh pohon yang tebal, aku mengatur napasku, kembali menenangkan diri. Setelah kupikir-pikir lagi, harimau tertidur adalah sasaran empuk. Terutama ia sekarang membelakangi kami. Kalau aku bisa menyerang titik vitalnya dengan panahku, seharusnya ia tak akan bisa berkutik seperti hewan buruanku lainnya. Kalau pun tidak jatuh, jika apa yang Ayah katakan benar, macan itu akan kabur menjauh dari tempat ini. Selama aku tidak terlihat lebih empuk di matanya.

Aku memberanikan diri, dan memegang busur dengan anak panah yang siap kutarik. Kini macan itu berbaring sekitar 50 langkah dari pohon tempatku bersembunyi. Aku berusaha mendekat dari pohon ke pohon, di setiap geseran, aku memperhatikan berbaringnya hewan tersebut. Hal terakhir yang kuinginkan adalah membangunkannya.

Aku terus menanam mata ke punggung harimau itu, memperhatikan gerakannya yang paling kecil. Tapi macan itu tetap diam. Walaupun begitu setiap langkah terasa seperti hembusan napas terakhirku. Dekatnya aku dan hewan itu membuatku cemas. Sejujurnya aku membayangkan harimau itu terbangun dari beberapa langkah yang lalu, tapi ia tetap terbaring, tak terganggu. Mungkin kakiku lebih ringan dari yang kukira.

Dari kejauhan aku melihat Saka yang mengintip dari balik panjatan tebing, kepalanya mencuat dari balik tebing, dengan rambut coklatnya, ia bagaikan buah kelapa di tengah lapangan. Aku mengayunkan tangan dengan cepat, berisyarat menyuruhnya untuk menunduk bersembunyi yang dituruti dengan menurunkan separuh wajahnya.

Mencabut perhatianku dari Saka dan kembali ke hewan buas yang kini berada di dalam jarak seranganku, aku mengambil napas dalam-dalam. Aku menggenggam erat busur dan menarik panah sambil mengarahkannya ke harimau itu. Aku berusaha keras menahan getaran tanganku. Bahkan sangat mengejutkan aku masih bisa menarik busur ini, dengan lemasnya badanku karena rasa takut.

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang