Gema yang Terulang Part 3

8 2 0
                                    

"ARRAN?!! JANGAN GILA KAMU!!" teriak Bima, melihatku berpacu mengejar Aterra dan Gaung yang kerap membunuhnya.

Aku mengejar Aterra secepat mungkin yang kubisa. Bisa kurasakan kuda yang kutunggangi tidak setuju dengan perintahku. Meski begitu tetap kupaksa untuk melaju. Setiap lompatan kaki empatnya kusisipi dengan doa berharap tidak terlambat.

"ATERRAAA!!!" Aku melihatnya. Aterra di depan masih melaju kencang menghindari kematian. Gaung di belakangnya menerobos hutan layak seekor harimau yang mengejar tikus. Keempat kaki raksasanya menggetarkan hutan dengan laju larinya yang kencang.

Aterra melihatku dari kejauhan, ia mempercepat kudanya berusaha menjauhi cakaran Gaung.

Aku juga melakukan yang sama, menambah laju kuda, mengejar Aterra yang berusaha mengorbankan nyawa. Golok panjang di tangan siap untuk menyabet badan Gaung yang kudekati.

Gaung di depan menyadari keberadaan mangsa barunya. Sebelum aku bisa melancarkan serangan, ia berbalik badan. Mulutnya terbuka lebar, dan lidah-lidah bercahaya melesat terbang ke arahku.

Kuda, golok, sampai tas yang mengalungi badanku terjatuh ke tanah akibat serangan raksasa tersebut. Aku terbalut dengan lidah Gaung, terangkat tinggi di udara. Ikatannya begitu kencang, seperti dililit oleh ular-ular sanca seperti yang menyerang Alvi siang tadi. Beginilah cara kami dulu kehilangan anggota desa. Tertangkap lidah-lidah Gaung kemudian dibawa ke sarangnya untuk disantap.

"ARRAN!!!" Aterra berlari dengan kudanya ke dekat kaki Gaung. Dengan tenaga kuat, ia menyabet kaki raksasanya. Gaung tersebut mengeluarkan auman kesakitan dengan lidahnya yang masih menahanku kuat.

Gerakan monster itu lebih cepat dari reaksi Aterra. Sang Gaung mengayunkan tangan raksasanya, dan melontarkan Aterra bersama kuda terbanting ke badan pohon hutan. Perempuan itu tak bergerak seketika.

Aku menyaksikan peristiwa yang terjadi. Melihat Aterra yang berbaring di tanah, bayangan keluargaku yang tak bernyawa membesit di benak. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Sesaat lagi aku akan dibawa kabur oleh monster ini, dan akhirnya bertemu ajal.

Geraman bagai petir menyambar hutan. Malam si Kucing Hitam mendarat di punggung sang monster, mencakar dan menggigit. Walau dapat serangan baru, lilitan lidahnya tidak melepasku. Namun, melihat peluang yang Malam berikan, aku berusaha meloloskan diri.

Gaung itu melilitku di badan, lidahnya membalut dadaku dengan kuat. Aku berusaha melonggarkan baju pelindung yang membatasi lilitan gaung ke tubuh dengan sekuat tenaga. Tanganku cukup bebas untuk bergerak, kerusuhan yang dibawa Malam juga sangat membantu.

Dengan tarikan kuat, aku menyelip lepas dari baju pelindung dan lolos dari genggamannya. Lidah tersebut kini hanya menggenggam baju kulit tanpa pengguna. Sesampai di tanah, aku tak membuang waktu segera berlari ke Aterra.

"Aterra!!" Aku menepuk pipinya. Berharap pukulan Gaung tadi tidak mengambil nyawa.

Mata Aterra membelalak. Perasaan lega memenuhi hatiku. Aterra terbangun dari pingsan, dan melontarkan tamparan kencang ke pipiku.

"BEGO!!" teriak Aterra, ucapannya lebih perih ketimbang pukulannya di pipi. "GUA SENGAJA NYERANG DIA BIAR LO SEMUA BISA LARI!!"

"GUA DATENG BUAT BANTUIN LU!! TERIMA KASIH KEK!" balasku.

"APA NGARUHNYA!? YANG ADA, JADI KITA BERDUA MATI DI SINI!!"

Aku tak menjawab. Aterra benar. Keberadaanku di sini tak merubah apapun, hanya menambah santapan Gaung dari satu menjadi dua. Kecuali...

Aku melihat-lihat ke rerumputan. Mencari hal yang hilang dari bawaan.

"Kenapa? Cari apa?" tanya Aterra.

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang