Gua dan Ukiran Part 1

14 3 0
                                    

Kedua kalinya ini terjadi. Terbangun dikelilingi remang-remang jingga terang, ditemani rasa sakit yang berdenyut. Dunia terlihat buram. Deru hujan deras perlahan menghujam gendang telingaku. Begitu pula dengan suara derik dedaunan dan ranting yang terbakar api.

"Ran...?" Suara perempuan di sampingku terdengar lebih jelas daripada badai di luar.

Mataku kembali. Sekitar mulai terlihat jelas dengan cahaya yang terpancar dari api unggun kecil di samping kakiku.

"Arran!" Kakak mengangkat badanku yang terlentang, dan memeluk dengan erat. Ia menangis. Beberapa air mata membahasi dahiku.

Serangan Kak Mia seakan menyalakan kembali indraku yang mati. "sakit woi..." ucapku pelan.

"Eh maap-maap!" Ia melepasku seketika. Kini membantuku bersandar ke dinding di belakangku yang merupakan sebuah batu besar.

"Ini di mana?" Aku mengusap kepala yang berdenyut dan melihat sekeliling.

Kami berteduh dari hujan yang lebat di dalam semacam gua. Setelah melihat lebih seksama, gua ini terbentuk dari dua bongkah batu raksasa yang saling bersandar, membentuk apa yang tampak seperti tenda alami. Tumbuhan yang tumbuh di setiap sudut kedua batu raksasa kemudian melebur keduanya menjadi kokoh. Terutama satu pohon besar yang tumbuh di satu sisi gua ini, batang besarnya menjadi tempat sandaran kedua batu besar yang menutupi kami dari hujan.

"Kamu gapapa Ran?" tanya Kak Mia. Cahaya dari api buatan Kakak menerangi matanya yang bengkak.

"Cuman pusing aja." jawabku.

"Hmmm. Kepalamu kebentur sih pas pingsan tadi kayaknya."

"Iya..." Aku meraba belakang kepalaku. "Kakak abis nangis bukan?"

Kak Mia mengusap pipi di bawah matanya dengan cepat. "Ya maap lah! Terakhir kamu gini, kamu gak bangun tiga hari."

"Haha ya sekarang 'kan gak jatoh dari tebing." Aku berdiri dengan sedikit linglung di kepala. Berjalan ke bukaan tenda batu ini.

"Mending kamu istirahat dulu Ran."

"Aku pingsan berapa lama Kak?"

"Sekitar dua jam mungkin. Gak tau. Ujannya gak reda-reda, Kakak bingung ini jam berapa." Percikan abu api unggun mengalihkan perhatiannya. Kak Mia kemudian memberi makan api dengan daun kering dan ranting yang ia temukan di dalam gua.

Benar kata Kakak. Langit di atas gelap kelabu. Awan menyirami hutan seakan ada banjir bandang dari langit. Angin meniup-niup pepohonan yang tinggi, hanya berkat lebatnya hutan anginnya tidak sampai ke tempat kami berlindung. Petir menggelegar seperti sekelompok warga desa yang marah.

Meskipun aku takut apa yang ada di luar sana, pikiranku terus mengacu ke Ibu dan Saka di rumah. "Kita harus pulang sekarang Kak."

"Langit udah gelap Ran. Mendingan kita nunggu aja di-"

"Justru kita harus pergi sekarang kalo mau bisa sampe rumah!"

"Ini udah jam berapa Ran? Kita gak akan nyampe sebelum ma-"

"Ya masa kita mau di sini terus!? Ibu pasti sekarang lagi-"

"YA MAU GIMANA LAGI!?" Kakak melempar ranting pohon yang dipegangnya ke dinding gua.

Aku diam. Seketika petir di luar bukan lagi suara terkeras yang kudengar.

"Liat di luar kayak gimana! Kakak tau kamu khawatir sama Ibu! Sama Saka! Tapi kita bakal mati kalo keluar sekarang!" Air matanya kembali mengalir. "Kamu juga lagi cedera! Mau kita paksa lari sekarang terus sampe rumah sekarat!? Mending kalo sekarat! Gimana kalo ada babi hutan lagi!? Ada gaung!"

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang