Hutan Mati Part 2

5 2 0
                                    

Sebelum tangan Aterra bahkan sampai ke gagangnya, pintu kantor Pak Afan terbanting terbuka.

JDAK!!! "Bos manggil saya bos?!!" Seorang lelaki cungkring dengan kaos kebesaran yang dimasukkan ke celana menerjang dari balik pintu, tangan kurus penuh uratnya memajang posisi hormat.

"Iya! Lama kali kau kemarinya!" tegur Pak Afan, ke lelaki yang datang dengan cepat kilat.

Pak Afan memegang kedua bahuku, dan membalik badanku dengan mudah seringan membalik halaman buku. Ia meletakkan telapak tangan lebarnya di atas tulang belikatku dan mulai mengukur. "Dua jengkal. Ambilin baju kulit yang dua jengkal Kul!!"

"SYAP!!" Kulana menghilang dari gawang pintu dengan cepat.

"Maap, asistenku itu. Emang lelet geraknya."

Si Abang tadi lelet? Bisa gila mungkin aku kalau bekerja untuk bapak berkeringat satu ini.

Kulana kembali dengan cepat, dengan sebuah baju pelindung kulit di tangannya. Tampilannya sama dengan yang sedang Aterra kenakan, berwarna batu bata dan penuh jahitan rapih di setiap sudut.

Pak Afan mengambil baju kulit tersebut dan meletakkannya ke dua tanganku. "Ini buat besok. Agak repot juga kalo kau mati, jadi pake ini aja. Tapi untuk sementara golok sama panahmu belum bisa." Pak Afan menepuk bahuku dengan keras, dan dengan begitu pertemuan kami selesai. Aku dan Aterra meninggalkan kantor Pak Afan, suara teriakan perintah-perintahnya ke sang asisten terdengar bahkan setelah kami keluar pintu. Memang baru saja bertemu, tapi doaku menyertai sang asisten.

Tak kusadari betapa segarnya udara di hutan ini. Terutama setelah keluar dari kantor dan distrik Pak Afan. Aku membawa pakaian lindung dari kulit seperti baru mendapat bingkisan dari saudara jauh. Aterra dan Malam terus berada di sampingku selama kami berjalan kembali ke Bu Ayu. Seperti perintah wanita galak berikat merah, mereka tidak melepaskanku dari pandangannya.

Aku dan Kakak ditempatkan di wilayah Bu Ayu. Kakak masih terlelap di tidurnya, ditemani si Rambut Pendek, yang kemudian kupelajari bernama Ilva. Wajah Ilva seperti Bu Ayu, dan berbeda dengan Aterra dan Si Ibu Galak, dia ramah. Senyum sopan mereka membuat orang mudah percaya, aku salah satu korbannya.

Aku membiarkan Kakak tertidur di ruangan rawat Bu Ayu. Sementara aku beristirahat di aula besar depan bangunan utama, yang penuh dengan alas-alas tidur di lantai kayu. Aula ini diatapi dengan rangka pondong kayu yang dibalut dengan tanaman rambat. Tiang-tiang pondong dipenuhi dengan bunga-bunga biru yang tehnya kuminum tadi. Selain aku dan beberapa penduduk asli Kampung Apung yang berdiam di sini, ada Aterra dan juga Malam. Penduduk kampung masih menjauhi kami, mungkin masih karena keberadaanku. Tapi aku menganggap mereka tidak mendekat karena takut disantap Malam, lebih masuk akal saja di hati.

Aterra menyuruhku untuk istirahat dengan cepat, meski matahari belum terbenam. Hari sudah sore. Langit merubah warnanya dari biru terang ke jingga merah. Masyarakat Kampung Apung sepertinya memiliki kultur yang sama dengan keluargaku, mereka mengakhiri kegiatannya sebelum matahari tenggelam. Sebelumnya suasana aula Bu Ayu penuh dengan perbincangan. Bahkan canda tawa dan guyonan orang dari rumah pohon sebelah bisa terdengar kalau kau menyimak dengan benar. Namun, dengan berubahnya warna langit, hutan pohon raksasa pun menjadi hening. Aku berbaring di alas tidur umum dengan sepiring makanan yang Aterra berikan lagi untuk makan malam.

Senja di Kampung Apung dipenuhi oleh nyanyian tonggeret. Orkestra melodi mereka memanjakan telinga, bunyinya memenuhi benak siapapun yang kosong. Tapi, tidak di benakku. Semakin dalam matahari tenggelam semakin sulit aku mendorong diri untuk tidur. Pikiranku tidak bisa berpindah dari Ibu dan Saka di rumah. Malam ini berarti malam kedua aku dan Kakak tidak pulang. Ibu pasti tau hal yang tidak beres telah terjadi. Hal terakhir yang kuinginkan adalah sosok Ibu berkeliling hutan mencari kedua anaknya.

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang