Perpisahan Part 3 [END]

23 2 4
                                    

"ATERRAAAAAAA!!" teriakku begitu melihat bayangannya di antara pepohonan yang gelap.

Perempuan itu tidak melihat ke belakang. Ia terus berlari, melompat-lompati semak-semak dan kayu-kayu pohon. Aterra memang cepat, tapi ini ranahku. Aku tahu selak beluk pepohonan ini meski tidak ada cahaya matahari sekali pun.

Aterra beberapa kali kesulitan mengambil jalan yang kosong dari halangan hutan. Aku di sisi lain melakukannya dengan mudah. Melompati bangkai pohon tumbang, menghindari semak tajam, menggunakan batang pohon untuk berayun. Begitu sadar Aterra sudah hanya berjarak selangkah dariku.

Dengan satu lompatan, aku menerjang ke arah Aterra. Aku menjatuhkan badanku ke dirinya. Kami berdua berguling di tanah. Di tengah itu, Aterra menendang badanku, membuat jarak di antara kami.

Aku berdiri dengan cepat, mengeluarkan golok dari sarungnya. Aterra melakukan yang sama di hadapanku, siap dengan senjatanya.

Aku menatap Aterra. Wajahnya disinari cahaya bulan, terlihat berlinang air mata. Maksudnya apa? Apa dia sedih? Bisa-bisanya berlagak sedih setelah apa yang dia lakukan. Perempuan tidak tahu diri.

Aku maju lebih dulu, berlari ke arahnya dengan golok di tangan. Tak kusangka aku akan mengayunkan senjataku ke arah Aterra.

Seranganku terbaca dengan mudah. Dengan gerakan sederhana, ia menepis belatiku. Aku memberi serangan kedua, lagi-lagi dibacanya. Aterra menendang perutku, aku terpental ke belakang.

Sabetanku tidak ada yang kena. Aterra terlalu cepat, senjataku bahkan tak bisa menyentuh sehelai rambutnya. Aku kembali tersungkur di tanah karena serangan balik si pembunuh.

Aku berteriak kesal.

"Lu gak akan bisa ngalahin gua, Ran."

"BRISIK!!" Air mataku kembali mengalir. "Gua gak akan biarin lu kabur! Setelah apa yang lu lakuin!" Aku berlari lagi ke arahnya. Aterra mengangkat tinjunya, memukul pipiku. Lagi-lagi menjauhkan diriku.

Aku memukul-mukul tanah. Menatap Aterra penuh benci.

"Apa yang gua lakuin gak ada urusannya sama lu."

Ucapan Aterra membuat jantungku semakin panas. "ITU IBU GUA YANG LU BUNUH!! ADA URUSANNYA SAMA GUA!!"

"Yang gua bunuh bukan ibulu. Tapi Bu Dhirana, salah satu petinggi Desa Para."

Omongan Aterra tidak jelas. Apa maksudnya? Dhirana nama ibuku memang. Tapi apa maksud Aterra dengan kalimatnya tadi?

"Apa ini karena gua nyelamatin lu dari Nita? Apa karena gua ngeakhirin nyawa temen baiklu? Lu hampir mati karena dia, Ra! Gak mungkin gua biarin itu terjadi!" tanyaku.

Aterra menggigit bibir bawahnya. "Bukan. Gak ada hubungannya sama Nita." Mata Aterra menyadari sesuatu. "Lu gatau?"

Aku masih tidak mengerti.

"Lu gak tahu ibulu dulu siapa? Apa yang pernah dilakukan ibulu sendiri? Apa Bu Dhirana gak cerita ke anaknya sendiri soal petualangannya?"

Aku menggigit gigi. Seluruh tubuhku bergetar. Wajah Ibu muncul di benakku. Wanita tangguh yang tegas. Murah hati kepada anaknya. Ibu yang selalu memarahiku, dan selalu memujiku setelah membawa buruan pulang.

"Jangan sebut namanya... Jangan sebut nama Ibu seolah lu kenal dia!" Aku kembali berlari ke depan. Mengayunkan belati dengan cepat. Cukup bergerak lebih kuat dan lebih ligai dari Aterra, aku pasti bisa mengalahkannya.

Seperti biasa, ayunan golokku ditangkisnya. Tapi aku sudah menebak serangan lanjutan Aterra. Kakinya terangkat, siap menghantamku. Aku bergeser dengan cepat, kakinya yang melesat ke arahku kutangkap. Aku membalas tendangan Aterra, membuatnya terdorong ke belakang.

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang