Hutan Mati Part 3

4 2 0
                                    

Bima mengangkat satu tangan, komando untuk para penunggang berhenti. "Kita coba dulu di sini."

Kami berhenti di sekitar pepohonan tak bernyawa. Badan mereka terbaring di tanah, tidak ada yang berdiri lebih tinggi dari Aterra yang terduduk di kuda. Langit biru terlihat jelas di atas, tak lagi ditutupi dedaunan. Mentari tidak lagi menyentuh cakrawala, sinar putihnya sudah menerangi rerumputan. Semua menuruni para kuda yang letih dari berjam-jam berlari.

"Ayo. Jangan buang waktu." ucap Bima kepadaku. Tanpa perintahnya aku akan bergerak sendiri sebenarnya.

Aku menginspeksi setiap mayat pohon yang ada. Menilik tiap ruas dan lekukan dari kayu-kayu yang sudah melapuk karena waktu. Beberapa pohon tertumbuh jamur-jamuran beragam. Warna-warna mereka seperti lukisan indah yang memikat mata, bukan jamur yang kami cari. Bima, Aterra, dan Malam mengikutiku dari belakang. Mereka seperti menjaga anak kecil yang sedang mengeksplorasi hutan. Tapi bedanya anak kecil ini berjuang mencari jamur yang bisa membawa dia pulang ke ibu dan adiknya. Alvi ditemani kembarannya di sisi lain terduduk bersama kuda-kuda, sibuk menggambar peta dengan selembar kertas dan pensil.

Aku berkeliling cukup lama. Memindai bangkai pohon demi bangkai pohon. Namun tidak juga terlihat bidadari yang bersembunyi dengan darah beracunnya. Perlahan-lahan matahari memanjat ke arah puncak langit, dan Bidadari yang kami kumpulkan masih nol.

"Udah dapet belom sih?" Alvi bertanya sambil menaruh petanya ke kantung.

Ucapannya kubiarkan menggantung di udara, tak kujawab.

"Kirain gua lu tau cara nyarinya." Semakin lama suara Alvi semakin menjengkelkan dari biasanya. Bernapas saja serasa minta kupukul, apalagi kalau bicara. "Bukannya lu bilang bakal ada di sini?"

Aku mengambil napas panjang, dan menatap manusia menyebalkan itu di mata. "Gua gak pernah ngomong gitu. Kita cuman bilang jamurnya tumbuh di mayat pohon. Bukan berarti di setiap batang yang tergeletak bakal ada." Aku menjaga nadaku tidak tinggi. "Nah sangking langkanya, bisa aja di 100 pohon yang tumbang, cuman 1 yang ditumbuhin jamur bidadarinya. Mending daripada lu berdiri gak jelas ganggu pemandangan doang, coba bantu cariin di kayu yang lain."

Tanpa kusadari aku dan Alvi sudah berdiri berhadapan. Tangannya terlihat mengepal, dan alis serta hidung berbintiknya mengerut, mulutnya menampakkan gigi yang seperti ingin mengucapkan sesuatu.

Bima si Otot Berjalan mengeluarkan goloknya yang panjang, dan menghunuskannya di antara kami berdua. "Kita di sini bukan buat berulah. Gak ada waktu untuk masalah anak kecil kayak gini." ucapnya, tegas dan terukur.

Alvi mundur dengan celetukkan kesal. Bima menyarungkan kembali senjata dari tangan.

Aterra berdiri dengan tangan terlipat. "Kalo kayak gini kelamaan. Bentuk bidadarinya kayak gimana Ran? Biar cepet sedikit kita selesainya." katanya.

"Putih. Polos. Kepalanya bentuknya kubah. Kayak..." Aku melihat ke arah Alvi. "Kayak rambut dia."

Alvi kesal.

"Yaudah. Semua cari. Kalo nemu yang mirip, panggil Arran." lanjut Aterra.

Bima setuju. "Jangan jauh-jauh mencarnya. Kita gak tau apa yang ada di sini."

Kami berlima menghabiskan waktu berkeliling hutan. Mencari sepucuk jamur yang akan mengizinkan aku dan Kakak pulang. Kukira semua orang tau tentang keberadaan jamur bidadari. Seperti pengetahuan umum untuk melawan makhluk-makhluk buas di hutan. Lavender juga sama. Kukira semua desa memiliki kebun lavender untuk melawan Gaung. Bunga-bunga yang dulu bergelimpangan di Desa Para ternyata tak dimiliki kampung lain. Aku bahkan baru tau ada kampung lain selain Desa Para.

Pencarian jamur bidadari lebih merepotkan dari yang kuperhitungkan. Aku dan Kakak sebenarnya tidak pernah 'mencari' bidadari. Pada dasarnya jamur bidadari lebih seperti hantu yang tidak diundang. Muncul ketika tidak dicari, dan mustahil ditemukan jika dikejar. Sejak awal aku memang mengira akan sulit, tapi baru terpikir sekarang apa jadinya semisal tidak bisa kita temukan.

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang