Tamu Tak Diundang Part 3

12 3 0
                                    

Beruang itu menderam lagi dengan kencang, satu lompatan lagi seharusnya dia sudah sampai ke panggung batu tempatku berdiri. Tapi ia seolah terkejut, seperti menyadari sesuatu. Hewan itu tidak melanjutkan jalannya. Ia terdiam satu lantai di bawahku. Hanya menderam dan mengaum dengan keras.

Kak Mia juga melihat apa yang terjadi. Kami berdua terdiam dan takjub. Aku mengarahkan tulang gaung di tanganku ke bawah, ke arah beruang tersebut. Ia menggidik, dan bahkan berjalan kecil ke belakang menjauhi tulang, namun terhenti di ujung panggung batu tempatnya berdiri. Aku memegang tulang gaung layaknya obor, dan beruang tersebut tidak berkutik, seperti lalat yang menjauh begitu kita menyalakan lilin.

Kakak melanjutkan panjatannya, aku juga melakukan hal yang sama, namun kali ini dengan tulang gaung terpegang erat di tangan. Beruang di bawah teriak kencang setiap kami melewati satu panggung batu. Untungnya gelagatnya hanya sampai situ saja, ia masih berdiri terbeku di tempatnya tadi. Memanjat bebatuan ini serasa menjadi terlalu mudah. Selama kami memiliki tulang ini, beruang itu tak akan berani mendekat.

Satu batu besar terakhir, dan kami akan sampai di mulut gua di atas. Kakak memanjat terlebih dahulu, mencapai jalan keluar. Aku mengikut dari belakang. Menggenggam dan menginjak lekukan batu untuk mencapai ke atas. Panggung batu teratas ini lebih berpasir dari yang sebelum-sebelumnya. Tapi itu tak menjadi pikiranku, kami hampir sampai keluar dan rumah adalah satu-satunya hal penting yang kupikirkan. Tak kusangka pasir-pasir ini akan menjadi permainan licik alam semesta.

Pasir dan debu yang menempel di bebatuan membuat pijakan sulit dicari. Di tengah usahaku memanjat batu terakhir, aku terpeleset. Aku terjatuh ke lantai dan tanganku melepas genggamannya untuk sesaat. Tulang gaung yang kupegang menggelinding, dan jatuh dari panggung batu yang kududuki saat ini. Usahaku untuk menangkapnya terlambat sesaat. Tulang itu kini jatuh ke bawah, memantul dari batu ke batu, ke dinding gua, dan pada akhirnya hilang ke kegelapan.

"Ran?" ucap Kakak dari atas.

"Haha..." Wajahku mati rasa. Tak percaya dan bingung harus tertawa atau menangis. Satu-satunya senjata ampuh yang kami miliki terlepas dari genggamanku. Mataku bertemu dengan sang beruang. Aku bisa merasakan dia tersenyum di dalam hatinya. Sekali lagi beruang tersebut berteriak kencang, tapi kali ini dengan lompatan-lompatan tinggi, mengejar kami ke atas. Aku bergegas, takut akan mati konyol.

Sesampainya aku dan Kakak di panggung paling atas, tepat di mulut gua, hewan buas itu kembali berdiri di bawah kami. Ia kini menatap kami seperti kucing menatap meja makan, namun dengan mata merah darah dan mulut bengisnya yang berbusa.

Beruang itu melontarkan teriakan yang dahsyat, deramannya membengkakkan telinga. Aku dan Kakak tergopoh-gopoh untuk keluar dari gua, rumput dan dedaunan hijau kini hanya berada satu langkah dari tempat kami tersungkur. Bersamaan dengan berhenti teriaknya, sang beruang melompat ke atas. Kini berdiri di hadapan kami. Terakhir kali kami sedekat ini dengannya, Kak Mia mendapat luka sayatan di lengan.

Beruang itu kembali berdiri di kedua kaki belakangnya. Badannya kini terlihat berkali lipat lebih besar. Cahaya matahari yang sekarang sudah bisa menyentuh kami menyinari bulu coklatnya yang lebat. Aku dan Kakak terduduk di tanah, yang sekarang berupa rerumputan hijau. Tak kusangka kami cuma dapat waktu beberapa saat untuk menyentuh rumput, untuk pada akhirnya termakan oleh hewan ini.

Orang bilang sebelum dijemput ajal seluruh ingatan hidup kita akan tertayang di benak. Aku sudah siap melihat kenangan tentang Ibu, Saka, Ayah, dan Desa Para. Tapi ingatan itu tidak datang.

Beruang di depan kami berhenti mengaum. Ia masih berdiri dengan kedua kakinya, menjulang tinggi membayang-bayangi kami. Tapi pandangannya tak lagi terpaku ke arah kami. Ia menatap lurus ke belakang aku dan Kakak, seolah teralihkan oleh sesuatu.

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang