Celengan Part 1

33 4 0
                                    

Gelap. Seperti biasa aku terbangun, menatap susunan kayu yang menjadi langit-langit kamarku dan Saka. 'Terbangun' sepertinya kata yang kurang tepat, karena aku belum tidur malam ini. Walau memejamkan mata, bukan gelap tapi harimau siang tadi yang kulihat. Dan lagi aku belum boleh tidur, aku masih harus melaporkan kejadian siang hari ini ke Ibu. Ibu harus tau. Dan dari tatapannya saat makan tadi pun ia pasti menunggu penjelasanku.

Aku melihat ke samping. Saka tertidur, sangat pulas. Sepertinya siang hari ini terlalu melelahkan untuknya. Tidurnya bocah ini tidak karuan, kaki tangannya bertebaran melewati batas selimut. Untuk anak kecil, dengkurannya cukup keras, seisi hutan bisa tahu kami di sini. Tapi di antara gelombang dengkuran Saka, terdengar suara lain. Terdengar dari luar kamarku, datang dari arah mulut gua. Suara telapak kaki ringan berjalan keluar. Aku bertegak dari tidurku.

Saka masih tertidur pulas, aku bergerak sehening mungkin agar tidak membangunkannya. Tapi dilihat dari pulasnya ia tidur, meteor jatuh pun tidak akan berpengaruh. Aku keluar dari bilik kamar, dan berjalan menuju pintu gua yang disinari cahaya bulan. Di dalam lingkaran bunga lavender, terduduk Ibu mendongak ke atas, melihat rasi bintang sambil tersinari cahaya bulan. Aku berjalan mendekati Ibu, tak lagi mengheningkan suara langkahku. Ibu tidak acuh mendengarku, seakan tahu aku mendekat hanya dari suara kaki.

"Ibu kangen deh. Begadang tengah malem, nontonin langit kayak gini. Liat bintang-bintang di langit, mereka seakan-akan terbang di sana dengan tenang. Nontonin kita dari atas." ucap Ibu begitu aku juga tersorot cahaya malam. Suaranya pelan biar tak membangunkan yang lain di dalam, tapi cukup terdengar olehku yang di sampingnya.

Aku duduk bersandar di dinding gua, memeluk lutut. "Arran juga kadang suka ke sini tengah malem. Kadang anginnya enak, gak terlalu dingin. Harum lavender juga."

"Hmmmm... Pantesan siang terus bangunnya." Ibu melihatku sambil mengangkat satu alisnya, yang hanya kubalas dengan tawa bersalah. Kami terdiam sejenak. Aku tahu Ibu terbangun untuk mendengar ceritaku tentang siang hari tadi. Tapi hembusan angin malam membungkam kami. Kami seakan menikmati waktu tenang di malam hari ini, tidak memikirkan kengerian malam yang sesungguhnya. Maka dari itu aku diam, menahan diri menceritakan segalanya ke Ibu.

"Kau terkadang ingat Para gak Ran?" Pertanyaan Ibu diiringi hembusan angin.

"Mmm... Maksudnya gimana Bu?"

"Yaa kangen Para. Gimana kita dulu pas masih di Desa, sebelum pindah ke sini."

"Hmmm... Terkadang sih. Aku kangen ramenya tengah malem. Api unggun tengah desa. Om Nugi sama om Galih yang suka ngeronda, terus seharian tidur di balai. Kadang aku tengah malem suka ikut mereka ngeronda, dengerin cerita Om Nugi sama Galih. Hahaha."

"Ha? Kapan kamu ikut ngeronda? Kok Ibu gatau?" Ibu terkejut.

"Ahahaha... Ya aku 'kan diem-diem 'lah Bu. Sama kak Mia. Kalo ketauan dimarahin."

"Hah? Kak Mia juga ternyata? Dasar, kalian ini." Nada suara Ibu sedikit kesal, tapi ia tersenyum. Kalau saja aku cerita ini ketika kami masih di Para, pasti responnya sedikit berbeda.

Ibu kembali mendongak, menatap langit. "Haha... Ibu juga... Kadang kangen sama desa itu..." Suara Ibu sedikit bergetar. Dari samping sini, mata Ibu terlihat sedikit bersinar. Entah karena air matanya, atau hanya pikiranku yang kemana-mana karena kantuk tengah malam.

Aku mencari-cari kata yang bisa kupakai untuk menghibur Ibu. Tapi sedikit sulit. Ini pertama kalinya sejak sekian lama kami membicarakan desa. Aku tak pernah berani bertanya atau cerita seperti ini dengan Ibu sebelumnya. Setelah semua yang terjadi, kukira mengenang Desa Para hanya akan membawa ingatan buruk. Tapi pembicaraan ini mengingatkanku ke keusilan dan keseruan kami dulu di sana, membuatku lupa akan memori kelam yang menimpa.

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang