Cedera Part 2

15 3 0
                                    

Aku menarik anak panah. Busur di tangan kiri serasa semakin berat. Tali busur kutarik perlahan agar tidak bersuara. Aku mengarahkan senjata jarak jauh ini dengan perlahan, dan memasang kuda-kuda yang kokoh. Semua siap. Panah ini hanya perlu kulepas dan rusa itu akan jatuh terkapar.

Aku mengambil napas yang dalam.

"Trik". Terdengar suara patahan ranting di tanah hutan. Rusa itu menengok tapi tidak ke arahku.

Aku melepaskan panah dari tangan. Hentakan busur menggelora mengisi kesunyian hutan. Anak panah itu melesat secepat kilat, dan mendarat di sebuah batang pohon.

Bidikanku meleset.

Suara patahan ranting itu mengejutkan rusa di depan, dan reaksinya mengejutkanku. Rusa itu kabur, dan anak panahku terlambat tipis mengenai targetnya. Tapi, dari mana datangnya suara itu? Aku yang menginjak ranting? Tak mungkin, aku tak bergerak sedikit pun sampai panahku melesat ke depan.

Rusa yang tadi di depanku sudah menghilang. Aku menghampiri anak panah yang menancap di pohon dengan kesal. Membuat panah sedikit sulit, jadi aku tak bisa meninggalkan anak panah yang masih bagus. Aku mencabut panah yang tertancap, memeriksanya dan memasukkannya kembali ke tempatnya di samping tasku.

Aku kembali mendengar bunyi, kini dari samping kananku. Suaranya seperti ranting yang bergerak, dan dedaunan yang tergeser. Rusa yang tadi? Tapi dia sudah kabur. Kembali mendengar suara daun kering terinjak, aku menajamkan mata. Dari balik semak-semak aku melihat sepasang mata berwarna kuning disertai secercah hijau, dihiasi pupil yang sangat besar. Tak hanya mata, loreng khasnya pun terlihat jelas sekarang, yang sebelumnya terkamuflase sempurna dengan dedaunan hutan. Ternyata bukan aku saja yang mengincar rusa ini.

Sesaat setelah aku melihatnya, hewan itu melompat dengan cepat ke arahku dengan kedua cakar depannya siap menerkam. Suara auman beratnya seakan melontarkannya ke depan.

Aku menghindar, menggulingkan diri ke tanah begitu loreng harimau itu terlihat. Sedetik lebih lambat, aku pasti sudah diterkam. Mungkin aku selamat karena melihatnya duluan sebelum ia bisa melompat.

Harimau itu mendarat dari lompatannya yang gagal menerkamku, ia berjalan dengan empat kakinya ke kiri dan kanan, seakan menilai arah gerak manusia di depannya dan mempersiapkan diri untuk menyerang. Badannya besar, keempat kakinya kokoh dan berotot. Giginya terpampang jelas, dua pasang taring sepanjang jari tengahku ia tunjukkan dengan geraman yang mengerikan, ia seakan membentak. Matanya tertanam ke buruan barunya, seorang manusia yang baru saja membuat kabur mangsanya.

Aku masih terduduk di tanah, bergerak mundur dengan panik. Keringat bercucuran. Suara hewan ini lebih mengerikan dari apapun yang pernah kudengar di dalam hutan. Tidak. Ada satu lagi yang lebih mengerikan. Tapi ini bukan saatnya membandingkan.

Harimau itu kembali menggeram dengan kasar, ia masih berjalan ke sana kemari dengan tatapan tajam ke arahku. Semua yang dilakukan makhluk ini seakan berkata, "Kau akan mati di sini."

Aku menimbang situasi, menelan ludah. Tanganku bergerak ke golok yang bergantung di pinggang. Apa aku akan melawan harimau ini? Sial. Tak mungkin aku bisa menang, yang ada hanya mati konyol. Pikirku tertuju ke orang-orang yang menungguku di rumah. Apa yang akan terjadi ke mereka kalau aku mati di sini?

Aku terus merangkak mundur, belum berdiri, menatap ajal di matanya yang berpupil lebar itu. Tanganku mendarat di sebongkah kayu, tebalnya persis segenggaman. Aku menengok melihat bongkahan kayu tersebut, yang kemudian ternyata merupakan sebuah keputusan yang salah. Kayu itu sepanjang lengan orang dewasa, dan sangat kokoh.

Melihat mangsanya lengah, harimau itu menerjang ke depan dan melompat kembali ke arahku.

Berkat rangkak mundur, jarak kami sedikit jauh. Tanganku yang memegang bongkahan kayu itu reflek bergerak. Aku mengayunkan kayu tersebut dan mendaratkannya di kepala harimau sebelum cakarnya sampai.

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang