Celengan Part 2

14 3 0
                                    

"Kak. Buahnya." kataku.

"Kenapa?"

"Kematengan." Setelah mendekat dan melihat dengan seksama, buah pisang ini lebih kuning warnanya dari yang kita inginkan. "Kalo kita bawa pulang juga besok basi."

"Haha. Ngaco. Gak besok juga kali. Ya gapapalah, kasih aja buat si Tumang." ucap Kak Mia, dan segera diikuti dengan perintah untuk menebang.

Beberapa tebasan kemudian, setengah badan pohon itu terbaring di tanah. Kakak sempat memarahiku karena beberapa bendera daunnya jatuh terlalu keras dan sedikit robek. Ya bukan salahku pohon ini punya pikirannya sendiri.

"Kau urus tandannya ya, Ran." Kakak memegang pisau dan mulai menyayat daun dari batangnya. Belati Kakak berselancar di tulang daun pohon dengan licin. Tugasnya jauh lebih mudah dari yang kulakukan. Beberapa tetes getah mengenaiku, tapi setidaknya tidak ada yang tumpah ke buahnya.

Kami menyelesaikan satu pohon dan mulai bergeser ke pohon lain. Tidak jauh dari pohon pertama, ada saudaranya yang senasib. Pohon pisang lebat dengan buah yang sedikit menguning. Kami berpikir berhubung sebagian besar pisang ini akan diberikan pula ke Tumang, menambah satu tandan lagi untuknya juga tak masalah.

Hal yang sama kami lakukan ke pohon itu, Kakak melipat-lipat daun pisang yang terpotong dan aku berusaha membersihkan getah pohon dari belati. Kakak memasukkan beberapa daun pisang yang sudah terlipat ke dalam tas selempangnya, dan ke tas ranselku juga, wajahnya seakan menghitung. Aku juga terkadang punya kekuatan super yang sama seperti Kakak. Beberapa wajah yang Kakak atau Ibu pasang, terkadang aku tahu perintah apa yang akan muncul mengikuti setelahnya. Menurut radarku, ia akan memanggil namaku sebentar lagi.

"Ran." 

Sudah kuduga. "Oit." jawabku.

"Agak kurang. Tolong potongin dong beberapa."

Aku masih mengelap belati. "Berapa?"

"Lima lah." kata Kakak.

Aku menilik beberapa pohon di sekitar kami, untuk mencukur beberapa bagian rambut mereka. Aku mengambil tiga lembar dari pohon-pohon di kananku, dan beranjak ke pohon sebelahnya untuk mengambil yang keempat. Tapi begitu mengangkat belatiku dengan tinggi, mataku tertahan di badan pohon tersebut. Seketika mulutku kering, golok di tangan memberat. Gemetar dan takut menemuiku lagi.

Di batang pohon pisang tersebut tertempel sebuah cairan, seperti lendir. Cairan itu tidak banyak, hanya segaris, seperti bekas cipratan. Benakku memikirkan kasus yang terbaik, mungkin katak pohon, mungkin ulat. Tapi aku harus memastikan kemungkinan yang terburuk. 

Aku menyarungkan belati, dan dengan gemetar menyentuh cairan tersebut, menitikkan satu tetes ke telapak tangan. Tangan bertetes lendir kukepal, menutupi cairan tersebut dari matahari. Badan enggan untuk bergerak, tapi dengan sedikit paksaan aku mengintip ke dalam kepalan, melihat cairan tersebut di dalam bayangan jemari, terlindung dari sinar matahari. Di antara bayangan, satu titik lendir itu perlahan menghasilkan warnanya sendiri. Bersinar biru terang, bagaikan permata langka di dasar sungai.

Jantungku seakan berhenti. Napas terhalang. Aku terjatuh dari berdiri, segera menggosok telapakku ke tanah. Aku mencabut seluruh rumput yang bisa kugapai dan menggosok telapakku sekuat tenaga, sampai tak ada lagi cairan yang tersisa. Dunia hening, gelagatku seakan membungkam seisi taman pohon pisang ini. Tanpa kusadari Kak Mia sudah berdiri di sampingku, dengan wajah khawatir.

"Kenapa Ran?" Suara Kakak seakan menyadarkan.

Aku masih berusaha mengambil napas dengan benar. Mataku sibuk melihat sekeliling, mencari tanda-tanda lain keberadaan monster itu.

"Ran, kenapa sih!?" Kakak memegang bahuku, berusaha menenangkan.

Aku melihat ke atas, ke matahari, dan seketika kendaliku kembali. Matahari masih di atas, bersinar terang. Selama ada itu kita aman.

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang