Gua dan Ukiran Part 3

12 3 0
                                    

Aku masih melaju turun dengan cepat, tapi perosotan ini terasa semakin lama semakin landai. Terlihat cahaya biru redup dari ujung perosotan. Cahayanya sedikit mirip dengan warna yang dipancarkan gaung. Melihatnya aku menggigil, dari dinginnya air di terowongan ini dan dari keringatku sendiri.

Sebuah kolam kecil yang menjadi muara aliran air kecil menjadi landasanku mendarat. Aku mendarat dialasi dengan lumpur dan tanah-tanah basah endapan kolam kecil ini. 

Perosotan jahanam berubah menjadi ruangan besar, 10 kali lipat dari ruangan rumah kami. Setelah mengusap secercah lumpur dari mata, seisi ruangan kini terlihat jelas. Atap gua dalam tanah ini terpasang puluhan—mungkin ratusan—permata biru bercahaya. Pancaran sinar dari bebatuan tersebut menerangi seisi gua dengan cahaya biru remang-. Tunggu... Kakakku? Dimana dia?

Aku memicingkan mata, pupilku masih menyesuaikan diri dengan cahaya tipis ruangan ini. Kakak terlihat berdiri di depan salah satu dinding ruangan. Kepalanya mendongak ke atas menatap dinding tersebut dengan seksama.

"Kak?"

"Arran?" Ia seakan baru sadar aku sudah menyusul.

"Ngapain Ka-"

"Ran, coba bikin api."

"Ha?"

"Udah ayo cepet!"

Aku berkeliling ruangan gua, mencari bahan-bahan yang bisa kupakai untuk membuat api unggun. Untungnya di satu sisi ruangan terdapat, serakan kayu, daun, dan jerami kering di lantai. Lebih mudah dari yang kukira. Kakak di sisi lain, mencari sesuatu di pojok ruangan. Dengan tumpukan dedaunan kering dan gesekan punggung belati ke sebuah batu, api unggun pun menyala.

Kakak menghampiri api yang kubuat. Ia membawa sebuah tongkat kayu yang ujungnya berlumur getah akar pohon. Hebat juga Kakak bisa melihat akar pohon bergetah di pojok ruangan yang remang-remang ini.

Aku melihat ke dinding yang menarik perhatian Kakak tadi. "Di situ ada apaan Kak? Jalan keluar?"

"Enggak. Bukan." Wajah Kakak penuh pikiran.

Tongkat kini berubah menjadi obor. Dengan getah pohon sebagai makanan apinya.

"Sini." ajak Kakak.

Dengan api yang kini Kakak pegang, dinding dan sekitarnya terlihat dengan jelas. Aku tak tau harus bereaksi seperti apa. Takut? Terkejut? Benci? Semua serasa tercampur aduk. Kakak juga sepertinya merasakan hal yang sama. Melihat ukiran sosok gaung di dinding ini, aku tak mengerti harus bereaksi seperti apa.

Dinding gua ini terpahat, bentuk ukirannya menggambarkan seekor gaung terduduk dengan kedua tangannya direntangkan ke samping. Mulutnya terbuka lebar dengan lidahnya bermekaran ke seluruh bagian dinding. Di bawah ukiran gaung, tergambar sosok-sosok seperti manusia yang sedang menunduk dan mengangkat kedua tangan mereka ke arah gaung tersebut.

"Apaan nih?" kataku.

"Kakak juga gatau"

"Arran gak pernah ngeliat yang kayak gini sebelumnya."

Kak Mia mengerutkan alisnya dan melihat ukiran dinding dengan seksama. "Kakak... Jadi inget cerita Om Galih."

Tatapanku bergeser ke Kakak. "Cerita apaan?"

"Cerita pas Om Galih sama Om Nugi ketemu orang gila di hutan."

"Hah?"

"Dulu Om Galih sama Om Nugi pergi cari makan. Berburu kayak biasa. Di tengah jalan mereka ketemu kakek-kakek pingsan di tengah jalan. Waktu itu hari udah sore. Kalo dibiarin pasti si Kakeknya mati diterkam hewan buas, atau dimakan gaung. Jadinya mereka bantuin si kakeknya. Niatnya dibawa pulang ke Para, biar bisa di rawat sama Mbak Yuli. Tapi, si Kakek itu berontak di tengah jalan. Malah kabur lagi. Balik ke tempat dia pingsan tadi."

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang