Mata Aterra terbuka, seperti kelopak mawar yang mekar dari tidurnya. Mata hitamnya layak permata hitam di dasar sungai jernih.
"Eh! Sejak kapan lu bangun?!" Aterra melompat dari kursi.
"Baru." Aku berusaha menahan senyum karena gelagatnya yang lucu.
"Gua ketiduran!? Anjir." ucapnya, lebih ke diri sendiri ketimbang ke diriku. Ia menatap mataku yang berlinang air mata. "Kenapa lu?"
Dengan cepat kuseka air di pelipis, dan segera bangun dari tidur. "Enggak." Pikirku kembali ke mimpi buruk di tidur singkat. "Gua harus cepet balik ke rumah."
Aku melompat dari ranjang. Aterra mundur melihat sikapku. Ia melihatku beranjak ke bagian belakang ruangan, tempat Kakak tadi meracik teh.
"Kakaklu lagi bantuin Bu Ayu." kata Aterra.
"Ngapain?"
"Gatau. Gak bilang."
"Cih. Aneh-aneh aja." umpatku kesal.
"Gak guna juga buru-buru." Aterra berjalan ke arah meja, tertata segelas teh di nampan bulat. "Bu Ayu, nyuruh lu minum ini kalo 'dah bangun."
"Lu gak ngerti kali ya! Ibu sama adek gua sendirian di rumah. Mereka pasti udah khawatir setengah mati mikirin gua sama Kakak!"
Wajah Aterra datar, seolah jengkel tapi tak mengucap. Ia hanya menunjuk ke luar jendela. "Liat di luar. Ini jam berapa."
Aku membuka tirai jendela. Cahaya matahari sudah jingga ronanya. "Hah? Berapa lama gua tidur?!"
"Agak lama sih. Gua tunggu gak bangun-bangun. Enak banget ya tidur dari pagi sampe sore."
Aku melihat Aterra, penasaran.
"Kenapa?" tanyanya.
"Ngomong-ngomong, ngapain lu di sini?"
Aterra mengambil cangkir teh dari nampan. "Ini minum dulu."
Setelah kupikir-pikir lagi, perempuan ini selalu ada bersamaku selama aku di Kampung Apung. Bahkan sampai sekarang. Mungkin karena dia merasa tanggung jawab karena membawaku dan Kakak kemari. Atau memang perintah dari bosnya yang galak itu untuk terus mengawasi gerak-gerikku.
"Banyak agenda buat lu hari ini. Pak Afan dan Pak Jit minta gua bawa lu ke kantornya." kata Aterra selagi kuteguk teh biru misterius Bu Ayu.
"Oh. Bapak pasak-pasak itu ya?"
"I-iya..." Aterra terlihat lebih lelah dariku.
"Yaudah. Ayok."
"Oh, sebelum itu. Nih." Aterra melempar sebuah kain ke arahku. Baju. Berbahan katun. Tebal namun cukup berongga untuk mudah bernapas. Warnanya hitam, berlengan panjang. Mirip seperti bajuku dulu sebelum terobek-robek untuk luka Kakak dan kaki Aterra.
"Buat ganti baju lu. Daripada make baju rombeng, udah robek-robek tangannya." jelas Aterra.
"Ini... Bajulu?"
"Ya bukan lah! Udah pake aja, banyak nanya!" kata Aterra sambil berjalan keluar ruangan, meninggalkanku untuk ganti pakaian.
Baju pemberian Aterra pas. Sedikit tercium aroma besi dan asap dari kainnya. Perasaanku mengatakan baju ini berasal dari sektor Pak Afan, aromanya melekat.
Aku melipat baju lamaku dengan rapih, dan menaruhnya ke dalam tas. Memang sudah usang, dan rombeng. Belum ditambah aroma keringat bekas petualangan. Tapi aku ingin mengembalikannya ke Ibu. Bajuku, Kakak, dan Saka, semuanya adalah hasil jahitan rapih tangan Ibu. Bukan barang yang bisa sembarang di buang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arran
AdventureArran tinggal bersama keluarganya di dalam gua. Setiap hari ia harus berburu demi memberi makan keluarganya. Arran, Kak Mia, Saka dan Ibu telah tinggal di gua dalam hutan tersebut selama bertahun-tahun. Namun, rutinitasnya terganggu ketika Arran dan...