Perjalanan Pulang Part 2

6 3 0
                                    

Bima memejamkan mata, menyentuh dagu dengan jemari. Wajahnya penuh pikiran. "Kita antar mereka pulang. Dan bicara ke keluarga Arran untuk secercah lavendernya. Biar aku nanti yang menjelaskan ke Pasak Duri."

Aterra mengangguk mantap. Tawaran rencananya diterima oleh sang Perwira Pertama.

Aku segera mengendap-endap kembali ke Kak Mia. Mendorong perahu ke air danau, dan berlagak sudah dari tadi di pesisir.

"Ngomongin apa mereka?" tanya Kak Mia begitu aku menghampiri.

"Itu. Soal-" Aku melihat ke samping, ada mata kuning besar yang menyimak. Malam menatap kami seperti mengawasi. Jadi tidak enak bergosip dengan adanya kucing besar itu.

Aku, Kakak, dan Malam menengok ke arah langit seketika. Sebuah guntur menyambar langit. Suaranya seperti batu besar yang jatuh menghantam besi.

"Waktu kita terbatas, sepertinya memang harus menghadapi hujan." kata Bima jalan mendekat bersama prajurit Apung lainnya. "Kita harus bergegas sebelum hujannya bertambah deras."

"Padahal mereka yang ngobrolnya lama." bisik Kak Mia, pelan.

Bima mengumumkan rencana mereka—-yang sudah aku curi dengar tadi. Mereka akhirnya akan mengikuti kami sampai ke rumah. Dengan bayaran akan kami beri lavender begitu sampai. Dilihat dari betapa tingginya tensi pembicaraan mereka tadi, misi yang mereka lakukan ini sebenarnya melanggar peraturan dari para Pasak. Tapi setelah mendengar cerita Aterra kemarin, tentang hilangnya prajurit Apung, mereka sangat butuh lavender yang menjaga rumah kami. Semoga saja Ibu bisa kubujuk untuk memberikan beberapa, berhubung mereka sudah membawa kami pulang ke rumah dengan selamat. Semoga.

Tapi ada hal lain yang membuatku penasaran, nama yang Bima sebut tadi. Nita. Siapa dia ke Aterra? Kenapa bisa sampai membuat Aterra memasang tatapan seperti itu?

~~~

Perahu kami melaju perlahan di Danau Kaca. Badannya membelah permukaan air, menciptakan pola di air yang datar. Aku mendayung di sebelah kiri, dan Juna di sebelah Kanan. Bima duduk di moncong perahu memegang peta, membacanya dengan seksama. Kakak, Aterra, dan Ilva di tengah perahu, Malam berbaring di depan mereka. Permukaan danau begitu dekat dengan bibir perahu, yang menampung beban enam manusia dan satu kucing besar.

Petir menyambar berkali-kali di dalam awan yang sudah menutup mentari. Langit dilukis dengan tinta abu-abu gelapnya. Hawa dingin perlahan menyelimuti danau.

Kak Mia melihat ke timur, ke langit yang paling gelap warnanya dan petir menyambar-nyambar. "Udah ujan di Sana." katanya.

Aku dan Juna lanjut mendayung, "Lebih baik kita cepat menepi ke seberang." kata Juna.

"Tunggu, Jun." perintah Bima dari depan. Aku dan Juna sontak berhenti. "Kalian dengar itu?"

Semua di perahu membuka telinga, begitu pula Malam. Dari arah timur, terdengar suara deruan hujan yang datang mendekat. Jutaan air yang jatuh lari ke arah kami seperti prajurit yang menyerbu di saat perang. Permukaan tenang danau seketika menjadi beriak hebat. Banjuran hujan yang mendadak datang ini lebih deras dari beberapa hari yang lalu. Seperti ada ember raksasa di langit yang terus menyiram tanpa henti. Namun, bukan itu saja yang merepotkan. Kabut datang menyelimuti, menjadi tebal seiring semakin derasnya hujan. Kami menjadi buta arah di tengah selimut tebal danau.

Kami berhenti mendayung, bukan hanya karena arah tujuan kami tak lagi terlihat, tapi hujan begitu deras sampai membawa ancaman lain. Air hujan perlahan terkumpul di dalam perahu, menggenang sampai mencapai mata kaki. Kami serasa berdiam di bawah air terjun, jumlah air yang turun tidak masuk akal. Petir di langit menyambar begitu dekat seperti menertawakan.

ArranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang