Hari belum berganti, masih dengan Albert yang bersama Flo dalam aula seni. Mereka sedang membantu para adik kelas untuk persiapan lomba. Jangan salah, Albert dan Flo sudah mengharumkan nama sekolah dalam ajang lomba seni lukis, makanya mereka dipintah untuk mendampingi.
Flo memberi tahu bagaimana teknik dalam mencampurkan warna, memberikan warna, serta mengoles beberapa warna di atas kanvas. Dalam hal itu, menurut Flo melukis bisa juga mengikut sertakan perasaan, tapi untuk Albert, melukislah dengan logika sehingga warna lebih jelas jika dibicarakan.
Albert menghampiri Flo, sambil membawa kuas untuk ia berikan padanya. "Lo gimana sama Aksa?"
"Gimana? Gimana maksudnya?" tanyanya mengerutkan dahi dan masih meneruskan kegiatannya memberi contoh kepada adik kelas.
"Ya ... secara lo diincer mulu kan sama Aksa satu tahun akhir ini, masak ya gak sedikit pun ada perasaan, Flo," terangnya.
Cewek yang kini rambutnya tak teruarai itu melirik adik kelasnya, sepertinya dia menguping pembicaraan ini, tapi dia pura-pura nggak denger aja. Flo menyuruh siswi kelas X itu untuk meneruskannya dan memilih untuk mengajak Albert menjauh dari mereka.
"Gue nggak tau, untuk saat ini sih ya gini-gini aja. Gue juga nggak tau kedepannya kayak gimana, 'kan?" ujarnya yang kini berdiri di ambang pintu aula.
Albert menyusulnya. "Tapi lo selalu respon dia?"
"Ngerespon belum tentu juga menaruh hati kali, Kak, hahaha," jawabnya.
Albert mengangguk, hitung-hitung kini ia sedang mempelajari bahasa cewek, untuknya nanti.
Bel pulang sekolah itu nyaring terdengar. Semua murid bergerombol untuk pulang, mungkin suatu saat hal seperti ini yang akan dirindukan. Saling bergurau saat berjalan menuju tempat parkir, mampir ke penjual cilok dan pentol untuk dibawanya pulang. Semua akan menjadi kenangan dikemudian hari.
"Gue nggak relaa!" ucap Arely seketika berhenti saat ia berjalan dengan kedua temannya.
"Nggak rela kenapa?" tanya Grace yang bingung dengan tingkah lakunya.
Arely memanyunkan bibirnya. "Masak Flo masih berduaan aja sama kak Albert, huwaaaa."
"Sialan! Gue kira apaan," ketus Grace.
"Ya kan mereka lagi dampingi adik-adik kelas. Nggak berduaan juga kali, Rel," sahut Zeze.
Arely masih manyun. Namun, bedanya kini ia melanjutkan langkahnya yang disusul kedua temannya dari belakang.
"Gy."
"Hem ...."
"Jadi ngiri gue, kapan ya, punya doi," ujar Tama sambil melihat lantai dua dari area parkir. Eggy dan Rudi pun mengkuti arah matanya memandang.
Yang benar saja, kini Aksa sedang menarik ikat rambut Flo agar terurai. Dan Flo menanggapi itu dengan memukul kecil lengan Aksa sambil memanyunkan bibir karena kesal.
"Yang kayak begini nih pellu diamankan, bial gak buat ili pala jomblo," ucap Rudi yang kini juga menyaksikan mereka dari bawah. Berharap juga kedua temannya paham dengan apa yang dia ucapakan.
Eggy tersenyum miring, lalu merangkul kedua temannya. "Yang harus diamankan itu nih para kambing-kambing gue, hahahaha."
"Kampret!"
"Su!"
Umpat mereka geram. Cowok berhoodie hitam itu mengajak temannya untuk segera pergi dari sekolah. Bukan, bukan karena ikut iri melihat Aksa dan Flo, tapi lebih mengamankan dirinya saja agar tak hanyut dalam drama mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLOGY
Teen FictionTentang meninggalkan dan ditinggalkan. Tentang pengorbanan dan keikhlasan untuk merelakan. ••0•• Sebelum itu, follow akun wp: an_riy Ig: al.vinnuri/by.an_riy