Di bawah langit hitam ini, Flo duduk di halaman rumah sambil memandang tanaman bunganya. Adik dari Jayden itu kini sedang mengingat masa di mana saat ia bisa tertawa bersama saudaranya.
Ia tersenyum. "Dulu kalau main keluar sama kak Jay dan temen-temennya, pasti gue selalu disangkanya pacar. Hahaha, padahal gue adeknya," ujarnya pada diri sendiri.
"Kak Jay emang kakak rangkap pacar sih, hahaha," lanjutnya.
Flo memandang wajah kakaknya dari galery di handphone. "Mana bisa digantikan? Orang paling spesial ya cuma dia, ya ... walaupun emang bukan saudara kandung, tapi dari kecil kasih sayang dia ke gue gak pernah setengah-setengah."
"Liat lutut gue lecet karena jatuh dari sepeda aja, dia marahin orang yang nabrak gue, apalagi ... orang lain yang punya niat jahat ke gue. Bahkan dia merelakan dirinya." Flo teringat akan kejadian satu tahun lalu itu.
Kejadian yang sangat memukulnya, yang mengajarkannya bagaimana arti kepergian sesungguhnya, memberinya paham apa arti long distance relationship yang sebenarnya. Mereka jauh, bahkan Flo hanya bisa melangitkan doa untuk menghubungkan kerinduannya. Dan Flo juga cukup kecewa dengan perbuatan teman dari Jayden yang sudah merenggut separuh kebahagaiannya. Sampai detik ini ia dan keluarganya cukup membiarkan pelaku itu menghabiskan waktu-waktunya di dalam jeruji besi.
Tak lama setelahnya, Flo mendengar suara motor metic yang tak asing dari telinganya.
"Gile! Gue telepon malah nggak online," omel Arely yang baru saja turun dari motor Grace, dan Flo dibuat kaget dengan kedatangan teman-temannya yang sudah berdandan rapi itu.
"Cepet ganti baju sana! Terus dandan!" pintah Grace.
"Masak malam minggu ngandang di rumah sih, ah nggak seru!" sahut Arely.
Sedangkan Zeze mendorong Flo untuk masuk ke rumahnya dan mengganti stylenya. "Kan mending di rumah ... keluar juga nggak punya pacar, 'kann?" celetuk Flo saat hendak memasuki kamar.
"Eh! Nggak ada larangan buat jomblo malam mingguan ye! Cara kayak gini tuh menguji mental kita buat beberapa tahun kedepan kalau masih belum punya pacar, biar kita bisa lebih tatak lagi kalau lihat yang bikin hati meleyott," teriak Arely dari luar rumah Flo. Ya berharap saja cewek pemilik rumah itu mendengar.
"Tips mantap dari temen gue," timpal Zeze setelah Arely menyuarakan isi hatinya.
••O••
Keempat cewek itu menginjakkan kakinya di tempat anak seusianya nongkrong. Petikan gitar nan syahdunya suara penyanyi kafe pun seakan menjadi pemanis untuk menemani para remaja ini.
Mereka mendaratkan pantatnya di bangku nomor empat. Tak lupa gurauan yang selalu mengalir di setiap waktunya saat bersama-sama, pun mata Arely yang menyapu seluruh ruang yang terbuka ini, entah apa tujuannya, tapi yang Flo perhatikan dari dulu memang tingkahnya tak berubah.
"Gila sih! Kalau ceweknya aja pada glowing, gue yang modal lesung pipi sebagai pemanis doang ya kali di senggol," ujar Arely yang masih dengan kegiatannya tadi. "Boro-boro di senggol, di tengok aja, nggak mungkin," lanjutnya.
"Tenang, Rel, kan ada mas Tama yang menunggu dengan setia," ucap Grace mengusap pundak Arely.
"Diam ya lo, kalau nggak tau apa-apa!" ketus Arely yang membuat ketiga temannya itu tertawa.
"Ups! Hahahaha."
Flo beranjak ke barista untuk memesan macam-macam kopi permintaan dari teman-temannya. Namun, selang beberapa detik setelah itu, Flo merasa pipinya disentuh oleh seseorang dari belakang. Tegang, dan pikirannya pun sudah tak karuan. Ia segera menepis debaran jantungnya lalu berbalik badan dan langsung menampar orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLOGY
Teen FictionTentang meninggalkan dan ditinggalkan. Tentang pengorbanan dan keikhlasan untuk merelakan. ••0•• Sebelum itu, follow akun wp: an_riy Ig: al.vinnuri/by.an_riy