10 Caranya Melupakan

338 50 0
                                    


Senin ini Freya tidak bisa datang ke rumah Gama, tidak juga ke kantor Djournal Town, ia hanya mengirimkan beberapa artikel lewat e-mail dan berniat membahas kelanjutannya lusa kemudian. Bersyukur dia kenal baik dengan Kemal, yang tidak terburu-buru mengejar tulisannya. Setelah setengah hari mondar-mandir antara meja kerja, kasur, toilet dan pantry, akhirnya tubuh Freya menyerah. Pukul delapan setelah shalat isya dia ingin istirahat, berbaring di atas tempat tidur dengan pandangan menatap langit-langit.

Mikirin apa sih, Fre? Tanyanya pada diri sendiri.

Tujuh kali Vian mencoba menghubunginya, tapi Freya menolak panggilan tersebut. Lalu belasan pesan masuk datang dari berbagai aplikasi, semua dari orang yang sama. Ia diserang lewat media sosial oleh Vian. Hatinya sedang retak, malas untuk sekadar bilang 'hai' pada mantan kekasihnya di Jogja sana.

Sampai detik ini Freya tidak berminat membuka pesan-pesan dari Vian, ia langsung men-delete semuanya. Ia sakit hati, ingin rasanya Vian merasakan apa yang sedang dia alami saat ini. Biar sama-sama tersiksa dan terluka.

Tanpa Freya sadari, di rumah Gama, Amanda sedang uring-uringan karena harus makan masakan Mbok Mi yang serba manis, bukan seleranya sama sekali. Nggak gurih dan nggak pedas, sedikit asin tapi aneh menurut lidahnya. Pokoknya Amanda tidak pernah cocok dengan masakan Mbok Mi kecuali telur dadarnya saja. Mbok Mi yang sudah tahu kebiasaan majikan kecilnya tidak pernah sakit hati, sudah paham luar dalam.

Amanda sudah dipesankan makanan dari luar pun tetap tidak mau makan. Gama lelah meladeni adiknya satu ini, tadi ia mencoba membuat telur tahu gulung, tapi gagal karena adonannya tak pas. Tinggal Kenan yang sedang duduk menatap Amanda dengan pandangan sayang bercampur sabar. Ia ingat pesan Papanya yang menitipan adik-adik padanya, tentu saja ia akan menjaga Amanda semampu yang ia bisa. Tapi Gama sepertinya bisa jaga diri sendiri, bahkan adik tirinya itu sukses membuat seorang perempuan menangis di malam hari menjelang tidur—pada Sabtu lalu. Sungguh sebuah mimpi buruk bagi Kenan yang tak mau melihat siapapun menangis termasuk Amanda.

Tak ada cara lain untuk membujuk Amanda agar mau makan selain menelepon Freya, karena itu Kenan meminta nomor ponsel Freya pada Gama setengah jam lalu.

"Halo, dengan Freya?" Kenan menyapa setelah panggilannya diangkat.

"Hmmm, siapa?" suara itu terdengar tak bersemangat sama sekali, bahkan agak serak.

Kenan melirik adiknya, Amanda sedang memanyunkan bibirnya. "Kenan."

"Kenan?" Freya terdengar kaget mengulang nama itu. "A-da apa, Nan?"

"Bisa ke sini, Fre?"

Tak ada jawaban. Freya sedang berguling di kasur, mencoba bangun.

"Sibuk ya?"

"Oh ... enggak sih. Kalian kenapa memangnya? Manda baik-baik saja, kan?" ia teringat saat Minggu pagi, setelah selesai membuat sarapan dia langsung pamit pulang dan Amanda menarik tangannya, memohon-mohon agar dia tetap tinggal di sana. Gadis ABG itu tidak rela Freya pergi.

"Itu, dia..." Kenan menggaruk rambut kepalanya yang tidak gatal. "Dia mau lo ke sini, Fre," ucapnya jujur.

Freya sudah bisa menebak sejak tahu peneleponnya adalah Kenan. Ia melirik jam di ponselnya, sudah jam sembilan malam. Besok dia memang tidak harus ke kantor, tapi harus tetap mengirim beberapa tulisan ke kliennya yang lain. Dia berpikir sejenak.

"Kalau lo sibuk, nggak apa-apa sih. Maaf ganggu malam-malam." Kenan ingin memaksa tetapi tidak sopan, ia pun merasa tidak enak sekarang. Freya juga punya kehidupan sendiri, lagipula ini sudah malam meski Jakarta tidak pernah tidur.

Djournal Town (Done)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang