20 Kehilangan

353 55 1
                                    

Tidak ada yang berbicara saat mobil itu melaju dengan cepat dan tenang. Dari pengamatan Kenan, dia tahu Freya sedang tidak baik-baik saja. Ini salahnya juga, yang langsung memeluk Freya tanpa izin. Kurang ajar, rutuknya sendiri.

Sementara itu hati Freya benar-benar sakit, dadanya pun sesak, tidak pernah terpikir akan ada bencana semacam ini. Dia bertengkar hebat dengan sahabatnya. Pertengkaran kedua di rumah sahabatnya sendiri. Persahabatan yang luar biasa, bukan?

Pasti. Setiap orang punya masalah dan masalah harus dia hadapi, tapi dia tidak tahu kenapa Gama sampai berpikir aneh tentangnya dan Kenan. Hotel? Hotel apa? Hotel mana? Kepala Freya rasanya bising, terus saja mengingat Gama menyebutkan hotel dan kata-kata kasar lainnya.

Memangnya selama ini Gama menganggap dia seperti apa? Perempuan macam apa?

Tanpa diduga, air mata Freya jatuh setetes demi setetas. Ia tetap menatap ke sisi jendela agar Kenan tidak melihatnya menangis, namun terlambat. Kenan mengulurkan sapu tangan yang beraroma khas.

"Maafin aku, Fre. Semua salahku," ujar Kenan yang sadar bahwa perbuatannya pun salah. Pantas diberi hukuman. Pasti malaikat sudah mencatat amal buruknya tadi.

Freya masih fokus menatap jalanan, ia menolak sapu tangan Kenan. Aromanya membuat desir halus di dadanya semakin susah dikendalikan, ia sedang tidak mau menambah banyak masalah. Menghadapi ini saja rasanya sulit, apalagi harus menghadapi debaran jantung yang mulai norak akhir-akhir ini. Dan dia akhirya tahu alasan jantungnya sering bertindak sesukanya begini, semua karena Kenan. Penyebab utamanya adalah Kenan.

Freya menoleh tajam, menatap wajah Kenan yang serius memperhatikan jalan. "Sebaiknya kita nggak usah ketemu dulu, Nan. Gue pusing memikirkan semua ini."

Kenan balik menoleh, sama tajamnya, dia lupa kalau dirinya bisa membuat dua nyawa manusia melayang. Beberapa detik kemudian dia berhasil mengemudi dengan baik dan stabil, memilih lajur kiri dan agak melambat dari sebelumnya. "Kenapa harus? Pusing kenapa? Fre?" tanyanya beruntun.

"Please, Nan. Jangan paksa gue buat ngikutin mau lo. Selama beberapa minggu ini sudah cukup lo jemput gue di Senopati. Sekarang pun sebenarnya gue bisa pulang sendiri, lo nggak harus sebaik ini sama gue." Jelas Freya, air mata masih membasahi pipinya.

Kenan menatap wajah itu sekilas, ingin rasanya menarik Freya ke dalam pelukannya kalau saja dia siap ditampar dan siap dianggap melecehkan perempuan. "Aku ikhlas kok, salah?"

Freya baru saja ingin melontarkan kalimat ini. "Iya. Ini jelas sesuatu yang salah. Ngapain sih lo pakai antar jemput gue segala, Nan." Tapi tertahan di tenggorokannya, lidahnya juga kelu seketika.

Kenan mengulurkan sapu tangannya lagi, susah payah ia mengulurkan dengan tangan kanan, menyetir dengan tangan kiri. Semoga tidak ada polisi yang sedang bertugas di jalan ini. "Jangan nangis lagi, Fre, please." Pinta Kenan, tulus.

Freya mengabaikan Kenan, ia menghapus sisa air matanya dengan punggung tangan.

Melihat Freya diam, tidak ada suaranya lagi, Kenan sedikit lega. Setidaknya Freya sudah tidak menangis dan sebentar lagi mereka sampai di apartemen Freya, di sana Kenan bisa berbicara baik-baik dengan gadis itu.

Sayang, usaha Kenan gagal. Ia tidak mendapat respons apapun dari Freya selain gadis itu meminta turun secepatnya saat mobil berhenti di depan lobi. Kenan membuka pintu cepat-cepat hanya demi ia tidak mau melihat Freya menjatuhkan air mata lagi. Terlalu pedih hatinya ketika melihat orang yang dia sayang menitikkan air mata. Benar, dia menyayangi Freya, dan jangan tanyakan sejak kapan ini terjadi.

Malam ini meninggalkan cerita menggantung. Kenan tidak tahu apakah dia masih bisa bebas bertemu dengan Freya lagi esok hari.

------

Djournal Town (Done)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang