1

6K 274 11
                                    

Di dalam ruangan itu tidak terdengar bunyi apapun, hanya keheningan yang ada disana. Tidak ada yang berani membuka suaranya. Seorang anak yang sejak tadi gelisah mencoba sabar walau dalam hati ia ingin segera bertanya, mengenai perihal ia dibawa ke ruangan Ayahnya.

Urung kalimat keluar dari bibirnya, teringat soal pribadi yang harus tenang dan sabar saat berbicara dengan orang tua. Hal yang selalu di didik sejak ia kecil sampai saat ini.

Bunyi gelas teh disimpan diatas piring kecil memecah keheningan. Ia mendesah kecil dan menyenderkan seluruh tubuh dikursi ruangan kerja khusus miliknya.

"Bagaimana? Sudah ada keputusan akan kuliah dimana?."

Anak yang ditanya terlihat ragu menjawab. Pertanyaan itu tidak lah sulit, namun nada tegas dan disiplin milik Ayahnya membuat gugup suasana disana.

"Aku akan kuliah di jurusan pendidikan, Ayah."

Suara gelak tawa langsung menggema disana.

"HAHAHA... kau ingin jadi guru?."

Pertanyaan itu terdengar remeh. Dia hanya mengangguk kaku.

"Bahkan uang jajanmu sendiri jauh lebih besar dari gaji mereka setahun."

Memang benar. Keluarganya kaya, ayahnya seorang CEO perusahaan dengan memiliki banyak cabang bahkan sampai ke luar negeri. Tidak salah jika hidupnya lebih dari sekedar cukup.

"Ah iya aku sudah berjanji, karena kau bukan pembangkang seperti adikmu. Maka silahkan kuliah disana. Walau aku menyayangkan otak pandaimu tidak sepadan dengan uang yang kau dapat."

Ia sudah mengerti. Keputusan ini sudah ia simpan lama-lama karena akan tahu pasti ia di cemooh soal cita-cita kecilnya ini. Kejadian ini sudah terprediksi, jadi ia tidak begitu sakit hati mendengarnya.

Namun ia tidak nyaman saat mendengar kalimat yang menjatuhkan adiknya.

"Yoongi juga pandai, Yah. Apalagi dia jauh diatasku dalam bidang olahraga dan bermusik."

"Apa gunanya? Di dunia ini hal seperti itu tidak berguna. Bahkan untuk dijadikan hobi saja membosankan. Tidak menghasilkan uang."

Lagi-lagu kebiasaan buruk itu selalu ia lakukan pada siapapun. Bahkan kedua anaknua sekaligus. Dia yang nendengar itu tidak bisa melawan karena rasa hormatnya lebih tinggi.

Terpaksa ia bungkam untuk sekian kalinya.

"Ayah aku permisi."

"Aku belum selesai bicara, apakah kau tidak punya sopan santun dan langsung pergi begitu saja?."

Ia sudah berada diambang pintu. Namun terhenti kala Ayahnya berucap demikian. Tubuhnya berbalik dan menatapnya yang masih duduk.

"Katakan pada adikmu, ia harus bersiap untuk melanjutkan perusahaan ini."

Hatinya mencelos. Ia tahu betul sang adik begitu mencintai musik, dan ia sudah memikirkan semuanya dengan matang untuk masa depannya sendiri. Bahkam ia terlihat bahagia saat membicarakannya. Walau jika berbicara dengannya menggunakan nada tidak nyaman, ia tetap mengerti betapa cintanya Yoongi dengan musik.

"Ayah... biarkan Yoongi menggapai cita-citanya."

"Lalu siapa yang akan meneruskan perusahaan ini? Kau tau Seokjin? Ayah sudah merintisnya bertahun-tahun bahkan sebelum kau lahir. Harusnya bersyukur karena saat kau hidup, kita tidak kesusahan lagi."

Seokjin mengerti. Ia selalu diceritakan olehnya mengenai kehidupan sebelum ia datang, dimana mereka belum punya rumah dan usaha. Ayahnya sebatas pegawai biasa yang diangkat karena kerja kerasnya. Selalu pinjam sana sini hanya untuk sekedar makan.

Heaven (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang