8

1.5K 199 17
                                    

Jika kalian mengira bahwa Yoongi adalah seorang yang egois, maka ubahlah sudut pandang itu.

Pada dasarnya ia adalah seorang adik yang mencintai keluarganya. Hanya saja pribadinya sudah dibentuk menjadi sifat pendiam dan dingin.

Bukan keinginannya untuk menjauh ataupun membenci Seokjin. Hanya saja, Seokjin berada jauh didepannya. Ia selalu mendapat dukungan dan cinta dari sang Ayah. Membuatnya menjadi sedikit tersenggol.

Saat kecil, Yoongi adalah murid yang pandai sama seperti Seokjin. Tidak pernah absen dari sebutan 3 besar dikelas walau belum pernah mendapat urutan pertama. Pulang dari tempat mencari ilmu, suasana hatinya gembira. Ia datang menenteng rapot dan memasuki rumah.

"Ayah Yoongi ranking dua lagi."

Senyuman tidak pernah luntur dari wajahnya.

"Ayah akan menambah jadwal les mu. Les piano dan gitar berhenti saja mulai sekarang."

Mulanya tangan yang berada diudara itu perlahan turun. Wajahnya menekuk. Rasa kecewa menusuk hatinya. Yoongi masih ingin bermain alat musik.

"Tapi Ayah kan Yoongi mau belajar musik. Nanti Yoongi janji akan mendapat juar satu."

"Sekarang kau sudah kelas 6. Terlambat. Dari dulu ayah sudah memberimu les tapi mana? Tidak ada perubahan, nilai mu tetap pas-pasan. Mungkin jika kamu seperti Seokjin, Ayah tidak akan memberhentikan les musik untukmu."

Terbayang kah seorang anak berumur 12 tahun mendapat perkataan seperti itu?

Sejak itu ia mulai membenci Seokjin. Tidak. Iri lebih tepatnya.

Setidaknya kala itu ia memiliki sosok Hyuran, bak seorang pemberi ketenangan dalam hidupnya. Kepergiannya adalah rencana terburuk yang semesta berikan. Butuh waktu lama untuknya menerima kenyataan pahit itu.

Walau sebenarnya, hati Yoongi masih berharap ini mimpi.








¤






Pipi itu terqsa basah, sensai geli membangunkannya dari tidur nyenyak. Ia menepis benda itu dari pipinya namun lagi-lagi pipi itu dijilati oleh lidah bertekstur.

Ia membuka mata. Melihat seekor kucing belang dengan mata besar sedang menatap dirinya. Kepala itu sedikit miring. Membuat kesan menggemaskan.

Seokjin duduk. Ia memangku seekor anak kucing itu dan mengelus bulu halusnya. Lalu mata itu turun ke perut, melihat. Membelainya dan merasakan sensai empuk.

"Lihat! Bahkan kau sudah lebih besar dari terakhir kali aku membawamu."

Kucing itu tidak menjawab dan malah mengerjap lambat menikmati sentuhan Seokjin.

"Bongie ah... Bongie ah..."

Suara itu membuat anak kucing dipangkuannya langsung berdiri tegak dengan telinga yang meninggi.

"Bongbongie.."

Pintu itu terbuka. Yoongi masuk dengan menjentikkan jarinya kebawah, sambil menirukan suara kucing.

Kucing itu langsung berlari kearah Yoongi. Menaiki lengannya dan masuk kedalam gendongan.

Mata Yoongi menatap Seokjin yang masih duduk di kasur, pakaiannya belum ganti. Berbeda dengan dirinya yang sudah rapih memakai seragam.

Ia mendekat.

"Ayah menunggumu dibawah. Sebaiknya kau bersiap-siap."

Seokjin mengangguk.

"Apa kau memberinya nama Bongbong?."

"Kenapa memang? Kau tidak suka nama itu? Maaf tapi dia menyukai nama yang kuberi. Benarkan Bongie..?"

Miau...

Seokjin terkekeh. Melihat dua makhluk gemas pagi ini membuatnya merasakan semangat baru.

"Namanya cocok. Lihat saja perutnya yang gendut."

Reflek Yoongi menutup telinga Bongie dengan tangannya.

"Kucing juga punya perasaan!."

Seokjim tertawa. Tidak menyangka bahwa Yoongi memiliki sisi lucu dibalik dingin sikapnya.

"Tanganmu merah."

Seokjin melihat kebawah. Ruamnya sudav mulai timbul lagi. Ia lengsung menarik lengannya untuk menutupi ruam.

"Ah iya aku lupa memakai lotion."

Ia langsung bangun dan pergi kekamar mandi untuk bersiap. Yoongi hanya berdiri disana. Ia mematung melihat Nakas Seokjin yang penuh obat.

Tangannya hampir mengambil benda itu, tapi tiba-tiba Bongie terlepas. Ia pun urung dan langsung mengejar anak kucing itu.







¤




"Seokjin, ayah sudah tua. Kuharap kau bisa menangani perusahaan kita. Seperti yang kau tau bahwa tidak sedikit orang membenci kita."

Seokjin mengangguk. Ia paham betul sifat dan ketegasan Jooheon. Ayahnya hanya ingin yang terbaik untuk perusahaan dan jhga para pekerja.

"Jangan malas-malasan dan mengandalkan Namjoon. Kau tidak akan maju jika seperti itu terus."

"Iya Ayah. Aku akan bekerja lebih baik."

Jooheon selalu menanamkam sikap disiplin pada Yoongi. Mungkin tanpa asuhannya, ia tidak akan sepintar ini. Seokjin tidak membantah, dalam pikirannya Jooheon hanya ingin yang terbaik untuk dirinya.

Tidak apa. Biar saja Seokjin yang mengalami, jangan Yoongi.

Bukan masalah besar bagi Seokjin, memang seharusnya anak pertama menanggung semuanya.

"Jin berangkat dulu, Yah," pamitnya sambil menunduk dan pergi.

Diluar rumah sudah ada Yoongi berdiri didepn mobil sambil melipat kedua tangan didadanya.

Ia sengaja berdiri disitu, karena ingin menebeng pada sang Kakak.

"Antar aku. Aku sedang malas menyetir," alibi Yoongi.

Padahal ia khawatir dan mulai iba. Walau hanya timbul sedikit rasa kasihan pada Seokjin, namun itu awal yang baik kan? Kasihan memang pada dasarnya rasa Kasih.

Seokjin tersenyum.

"Siap Tuan."

Yoongi hanya bergidik ngeri. Merinding dengan kalimat yang Seokjin lontarkan.








To be continued...

Heaven (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang