23. Chance

6.7K 808 76
                                    

Hal yang paling disesalkan Jennie selama ini, adalah dia yang tidak bisa berbuat apapun disaat Lisa membutuhkan nya.

Ketika gadis kecil itu kesepian, ia tak ada di sana untuk menemani nya. Saat Lisa menangis, Jennie tak bisa menjadi sandaran untuknya melepas segala kesedihan.

Bahkan sebagai seorang kakak, Jennie belum pernah membuat adiknya tersenyum. Jennie juga sadar, bahwa tidak ada hal spesial yang selama ini ia lakukan untuk Lisa.

Jika saja waktu itu ia tidak membiarkan Lisa sendiri, apa mungkin yang terjadi ke depan nya justru berbeda dari sekarang?
Mungkin saja pertengkaran hebat di malam itu tak terjadi. Lisa tak akan terluka, dan sang nenek pasti tidak membawa Lisa pergi. Dengan begitu, Lisa tidak akan menderita karena diabaikan.

Namun sayang, berandai sekarang pun percuma. Semua telah terjadi dan tak bisa diubah lagi. Jennie hanya bisa menelan dalam-dalam rasa bersalah nya dulu, yang tak bisa berbuat apa-apa karena takut seperti orang pengecut.

...

"...Lisa-ya."

"Jebal, mianhe."

Pelukan tadi terasa lebih erat. Meski begitu, Lisa tak berniat untuk melepasnya. Ia hanya diam membiarkan Jennie menangis sepuas hati.

"Aku sangat merindukan mu, Lisa. Sangat rindu sampai rasanya aku akan gila jika tidak bertemu dengan mu hari ini," lirih Jennie di tengah-tengah isak tangisnya.

Ia pikir sampai kapanpun Lisa tidak akan  mau menemui apalagi memeluknya seperti ini. Tapi ternyata, Lisa tak menolak pelukan darinya. Ya, walaupun sang adik tak membalas dekapan nya sedikit pun.

"Aku juga berterima kasih karena kau tidak mengusir ku. Aku kira kau akan menyuruhku pergi seperti kau yang tiba-tiba memutuskan telepon waktu itu," kekeh Jennie yang membuat Lisa mengernyit. Memang apa hubungannya?

Setelah puas, gadis mandu itupun segera melepas pelukannya. Lalu beralih menatap wajah mungil sang bungsu yang ia rindukan.

"Ternyata adikku sangat cantik. Tapi, tunggu. Sejak kapan kau jadi setinggi ini, eoh? I-ini tidak adil! Bagaimana kau bisa tumbuh lebih tinggi dari unnie mu?!"

Lisa meringis ketika Jennie tiba-tiba memekik. Kebiasaan kakaknya itu belum berubah. Dia masih suka berteriak, sama seperti di telepon waktu itu. Kalau begini terus, bisa-bisa gendang telinga nya pecah.

"Hah, ini benar-benar tidak adil. Padahal waktu kecil tinggi mu hanya---"

"Itu 'kan dulu. Sekarang semua sudah berubah."

Jennie tercekat. Tanpa sadar ia langsung menunduk karena kaget. Memang sebelum nya Jennie pernah bicara pada Lisa lewat telepon. Tapi setelah mereka bertemu, ia tersadar kalau sosok Lisa sangat jauh berbeda dibanding kan dulu. Sekarang pun Jennie jadi takut untuk menatap Lisa, karena ia masih belum terbiasa dengan tatapan dingin itu.

"Jadi, kenapa unnie tiba-tiba datang kesini? Apa dia tidak bilang kalau aku sedang tidak ingin menemui siapapun?"

"Ma-maaf. Appa sudah mengatakan nya, tapi aku yang tetap bersikeras ingin datang kesini." Jawab Jennie pelan sembari memainkan jemarinya.

Setelah itu, Lisa tidak mengatakan apapun lagi. Keheningan diantara mereka membuat suasana di ruang tamu menjadi sedikit sesak. Lidah Jennie pun mendadak kelu walau ada banyak hal yang ingin ia bicarakan pada Lisa.

"... Apa unnie hanya akan diam saja seperti ini sampai pagi?"

"M-mwo?"

360 Days•||With You||•[End]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang