PS - TujuhBelas

3.2K 141 2
                                    

Jangan lupa ninggalin jejak!

Hepi Ridings ....

***

Sekala masih terdiam di tempatnya. Ia memberi Justica ruang, mengeluarkan apa yang belum bisa ia keluarkan tadi. Ia sudah tahu, marah paling besar untuk seorang Justica adalah ketika ia menangis, menurut ayahnya. Sekala merasa kasihan, bahkan ingin merengkuh punggung yang terlihat rapuh itu.

Setelah Sekala memastikan kalau Justica sudah agak mendingan, ia mendekat lalu duduk tepat di depan Justica. Justica yang sadar kalau ada seseorang yang duduk di depannya, langsung menaikkan pandangannya. Ia membersihkan bekas air matanya, meski tetap menyisakan mata yang memerah.

"Ngapain Bapak ke sini?" tanya Justica yang berusaha terlihat biasa-biasa saja.

"Bisa kamu jelaskan kejadian tadi?" pinta Sekala.

Justica menatap Sekala penuh selidik, "Memang kalau saya jelaskan, Bapak akan percaya gitu? Tadi saja hanya diam. Setidaknya bantu saya sedikit. Katanya dosen PA, tapi, kok, nggak ada niatan gitu bantuin anak bimbingannya," ucapnya.

Sekala menghela napas sebelum menjawab. "Makanya saya di sini untuk mendengarkan penjelasan dari kamu."

"Percuma, Pak. Percuma. Penjelasan saya juga nggak bakalan ada gunanya," ucap Justica langsung pergi dari tempat itu.

Sekala tidak mencegahnya. Justica memang masih butuh ruang. Sekala tak langsung pergi dari taman itu. Ia merogoh ponselnya dari dalam saku, wajahnya terlihat sedang menimang-nimang sesuatu. Sampai akhirnya, ponsel itu ia masukkan kembali ke dalam sakunya. Ia berdiri siap-siap pergi dari taman itu, tapi seketika dihadang oleh ketiga sahabat Justica.

"Bapak jangan bergerak dulu, ya! Bapak ada sidang dadakan bersama kami," ucap Migo yang sudah mengangkat kedua tangannya di atas kepala. Benar-benar, kenapa ia yang mengangkat tangannya? Harusnya Sekala, 'kan? Biar seperti di film-film saat polisi berhasil menangkap buronannya.

"Ada apa ini? Kenapa kalian menghadang perjalanan saya?" tanya Sekala heran. Ia berjalan ke samping kiri, tapi kembali di hadang Migo. Saat ke kanan, Migo pun demikian.

"Ini ada apa?" tanya Sekala yang sudah terlihat marah.

"Selow, Pak. Biar aku yang ngomong, Go," ucap Arin menggeser tubuh kekar Migo.

"Bapak harus bantuin Justica. Kami nggak mau, ya, kalau-kalau Justica sampai di DO dari kampus ini. Bapak, kan, dosen. Dosen PA Justica pula, masa Bapak cuma bakalan diam lihat mahasiswi bimbingannya di DO secara tidak hormat," ucap Arin. Sekala akhirnya paham, kenapa dirinya dihadang tidak jelas seperti ini.

"Benar, Pak. Kami percaya kalau Bapak bisa membantu Justica. Justica sebenarnya baik. Dia itu nggak akan mau memukul orang lain tanpa alasan yang jelas," tambah Natan.

"Saya juga lagi mikir ini. Kalian pikir, otak saya cuma santai daritadi?" tanya Sekala.

"Mikirin apa? Orang daritadi Bapak diam di sini." Arin langsung menyikut perut Migo yang hanya dibalas cengiran oleh cowok yang akhlaknya sudah berkurang sekian persen itu.

"Berisik! Sekarang kalian ikut saya ke ruangan saya," ucap Sekala pergi duluan.

"Mampus! Kamu, sih. Nggak ada sopan-sopannya kalau ngomong," kata Arin lalu mendahului mereka.

Migo terlihat bingung. Ia kemudian menatap Natan yang masih berdiri di sisinya.

"Kita mau disidak, oon!" sentak Natan meninggalkan Migo yang masih terlihat bodoh.

"Sidak apaan? Woi, tungguin gue!" Migo akhirnya mengejar kedua sahabatnya.

***

Sekarang mereka berempat sudah ada di ruangan Sekala. Saling diam-diaman karena Sekala masih sibuk dengan ponselnya. Migo yang dasarnya emang sudah nggak tahan dengan suasana seperti itu akhirnya membuka suara.

Pak Sekala AstraningratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang