PS - 44

2.5K 123 4
                                    

Jangan lupa berjejak!
Hepi Ridings!

***

Justica sedang sibuk membantu ayahnya mengemas beberapa pakaian ke dalam sebuah koper. Besok pagi, ayahnya akan berangkat ke Bali karena urusan pekerjaan. Justica awalnya melarang, mengingat kondisi Yaris yang belakangan ini harus dikontrol, salah satunya tidak boleh kecapaian. Tapi, ayah satu anak itu bersikukuh. Alasannya karena ia masih sehat untuk melakukan pekerjaannya. Lagipula, menghitung bulan, ia sudah memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai pengacara. Dua puluh tahun lebih sudah cukup untuknya berlayar di dunia hukum dan itu sudah cukup baginya.

"Semua obat Ayah ada di tas kecil ini. Ingat, tas ini―"

"Tidak boleh lepas dari tangan Ayah. Harus Ayah bawa ke mana-mana," potong Yaris cepat. Ia mengusap rambut Justica saat mengetahui wajah anaknya yang cemberut.

"Ayah sudah menghapalnya karena kamu sendiri sudah tiga kali mengatakannya, Ca."

"Iya, biar Ayah nggak lupa. Ini serius, Yah. Jangan sampai Ica nyusul Ayah ke Bali," tegas Justica.

"Iya, Ayah bakalan ingat pesan Ica. Makasih udah bantu Ayah mengemas."

"Dengan senang hati. Sekarang udah pukul sepuluh, Ayah segera tidur. Tapi sebelum tidur, Ayah minum vitamin yang sudah Ica siapin di nakas sama air minum." Ica menaruh koper yang sudah ia tutup di dekat nakas.

"Kalau gitu, Ica ke kamar dulu."

Justica langsung meninggalkan kamar ayahnya menuju kamarnya sendiri. Mungkin Sekala sudah tidur pikirnya. Tapi nyatanya tidak. Sekala masih sibuk di meja kerja yang kebetulan juga berada di kamar Justica. Kamar Justica memang sangatlah luas.

"Belum tidur?"

Justica langsung merangkul leher Justica dari belakang.

"Belum."

Justica mengintip apa yang sedang suaminya kerjakan di laptop. Ternyata penginputan nilai hasil final semester.

"Semester depan kamu harus belajar keras, Ca. Jangan santai-santai. Lihat nilaimu ini? Grafiknya turun. Saya sudah melakukan banyak cara untuk ngedongkrak biar nilaimu naik, tapi tetap aja nggak bisa," ucap Sekala serius. Justica malah tertawa ringan.

"Saya sudah belajar keras. Kalau itu memang sudah menjadi nilai saya, ya, nggak papa. Itu udah jadi hasil usaha saya," jawab Justica ringan. Ia memundurkan langkahnya setelah melihat nilainya. Dan Sekala memang tidak berbohong. Ia lalu duduk di pinggir kasur.

"Mas ini lagi ngomong serius sama kamu. Mas nggak mungkin akan memanipulasi nilaimu supaya grafiknya naik. Itu sama saja Mas nggak profesional dalam bekerja. Coba pikirkan, kamu bisa tidak melaksanakan KKN semester depan jika ada beberapa mata kuliah yang nggak kamu lulusi di semester lima." Sekala melepas kacamata bacanya dan memijit pangkal hidungnya. Pusing, ia sungguh pusing.

"Saya nggak nyuruh Mas buat bantu saya. Selama ini juga saya nggak nyogok siapa-siapa buat nyelamatin nilai saya," tutur Justica tanpa menatap suaminya, melainkan ponsel yang ia genggam.

Sekala langsung berbalik, menatap Justica dengan pandangan yang sulit dibaca. "Saya nggak bilang kamu nyogok orang. Saya cuma mau kamu belajar keras, biar nilai kamu naik. Itu aja."

Justica menaikkan pandangannnya. "Saya paham. Walaupun saya istri seorang dosen, saya sadar diri, kok. Nggak mungkin saya memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi saya. Saya nggak bakal mengganggu keprofesionalan kamu!"

Setelah mengatakan itu, Justica berlalu ke kamar mandi, menghiraukan panggilan Sekala yang sudah berkacak pinggang. Ia menghela napas kasar. Kenapa Justica tidak bisa mengerti apa yang ia maksud? Apa semua perempuan memang seperti itu? Mempersulit hal-hal sederhana untuk dimengerti? Atau bagaimana? Lagi-lagi, Sekala menghela napas. Ia berusaha mengontrol dirinya agar ia tak mengeluarkan kata-kata yang bisa menyakiti hati istrinya.

***

"Jaga diri kalian, ya, selama Ayah nggak di sini. Harus rukun. Kalau ada masalah apa-apa, selesaikan baik-baik," pesan Yaris begitu ia akan melakukan boarding setelah pengumuman yang dilakukan oleh petugas bandara sudah diperdengarkan. Untung saja Yaris sudah melakukan check-in secara onlen agar tidak perlu lama-lama mengantri. Apalagi jarak rumah dan bandara yang memang terbilang jauh.

"Siap, Ayah. Ayah ngomong gitu seakan-akan Ayah bakal lama di Bali. Kan, cuma lima hari. Ya, walaupun lima hari doang, cukuplah untuk membuat kangen," tukas Justica mencoba untuk tidak membuat ayahnya mencurigai mereka. Ya, sejak semalam, komunikasi Justica dan Sekala memang agak dingin dari biasanya. Tentu saja penyebabnya adalah percakapan serius mereka yang terakhir. Dan mungkin, Yaris sudah curiga melihat gelagat dua anaknya itu. Ia jelas tidak bisa berangkat dengan tenang kalau keduanya memang memiliki permasalahan.

"Ada-ada aja. Tapi, kalian baik-baik saja, 'kan? Nggak lagi ada masalah?"

"Nggak, Ayah. Ayah tenang saja. Kita berdua baik-baik saja," jawab Sekala. Dengan ragu, ia merangkul pundak Justica yang juga dibalas kaku.

"Baiklah. Kalau begitu, Ayah berangkat dulu."

"Hati-hati. Jangan lupa berdoa sebelum berangkat. Sampai sana, langsung kabarin kami," ucap Justica. Ia dan Sekala segera menyalami Yaris. Mereka tak langsung meninggalkan bandara begitu Yaris hilang di pandangan mereka.

"Ca?" Sekala melirik Justica yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Ayo, pulang. Saya mau ketemuan sama sahabat-sahabat saya."

Tanpa menunggu jawaban Sekala, Justica sudah lebih dulu meninggalkan Sekala menuju tempat parkir. Sekala menghela napas, kemudian menyusul istrinya.

Sepanjang jalan pun, mereka hanya bungkam. Tak mau berlama-lama, Sekala menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Itu pun setelah ia memastikan bahwa sepanjang jalan itu tak ada larangan memarkir kendaraan. Ia tak mau kalau-kalau mobilnya tiba-tiba dideret oleh petugas dishub.

"Ayo, ngomong dulu. Saya nggak mau kalau percakapan kita semalam malah menjadi petaka untuk kita berdua." Sekala menggenggam tangan Justica. "Oke, Mas akui, Mas salah. Mas udah nyakitin kamu dengan kata-kata Mas. Mas nggak maksa kamu. Keputusan juga tetap ada di kamu. Mau dengerin Mas atau enggak. Mas hanya berusaha yang terbaik untuk kamu. Tapi tolong, situasi ini ... Mas nggak suka, apalagi Ayah sampai menyadarinya."

Justica menoleh kepada Sekala. Sesungguhnya kalau ia tak memiliki gengsi yang tinggi, masalah ini pun sudah selesai. Bagaimanapun, ia tahu dan mengerti apa yang dimaksud oleh Sekala. Ia membalas genggaman Sekala.

"Saya yang minta maaf, Mas. Maaf karena masih kekanakan dan terkesan tidak mau mendengar kamu. Saya sudah merenungi ucapan Mas dan memang benar dan saya juga mengakui kalau belakangan ini saya malas-malasan belajar. Saya akan coba melakukan ucapan Mas pada semester depan. Saya juga pastikan, Mas nggak akan malu lagi karena memiliki istri yang bodoh," ungkap Justica lalu ia terkekeh ringan.

"Saya nggak akan pernah malu karena saya menerima kamu apa adanya. Mau kamu bodoh atau pintar, Justica tetaplah Justica. Tapi, apa salahnya mencoba hal-hal yang baik untuk kehidupan kita sendiri, 'kan?" Justica mengangguk menyetujui.

"Saya akan bantu kamu. Nggak mungkin juga Mas biarin kamu berjalan sendirian," ungkap Sekala final sebelum keduanya berbalasan senyum semasing. Akhirnya, suasana kembali cair. Sekala melanjutkan perjalanan menuju kediaman mereka. Kampus juga sedang libur setelah melaksanakan final yang cukup menguras tenaga. Dan mereka juga berencana akan berlibur singkat ke Bandung. Tentu saja, sahabat-sahabat Justica tak mau ketinggalan. Apalagi, Sekala sendiri sudah mengajukan diri untuk menjadi bandar mereka. Baik tiket pesawat, penginapan, dan makanan selama mereka berada di Bandung.

Feb, 14.22.

Pak Sekala AstraningratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang