PS - 30

3.3K 138 2
                                    

Jangan Lupa Berjejak!

Hepi Ridingssss ....

****

Justica hanya menatap bayangannya di cermin. Tinggal menghitung jam, ia akan menjadi seorang istri. Walaupun perkataan ayahnya semalam masih terngiang di kepalanya.

"Pernikahan itu hanya mengubah statusmu, bukan kamunya. Setelah menikah, kamu akan tetap menjadi Justica, bukan orang lain."

Tapi tetap saja. Waktu seakan sengaja mempercepat lajunya, membiarkan Justica tak bisa menikmati hari-hari sebelum pernikahannya. Bahkan Justica juga tidak tahu, apa saja yang sudah ia lewati dalam sepekan ini.

Lamunan Justica buyar ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia kemudian memperbaiki duduknya dan berusaha membuat wajahnya terlihat lebih santai. Pintu terbuka, menampilkan sosok ayahnya yang sudah terlihat rapi, dengan rambut dan kumis yang sudah dicukur rapi. Justica tersenyum menyambut ayahnya, yang kali ini, ketampanannya jelas bertambah dengan jas berwarna hitam yang membungkus kemejanya yang berwarna marun.

"Ayah ganteng banget dalam setelan itu," kata Justica. Yaris hanya tersenyum. Haru lebih tepatnya. Ini adalah kali pertama Yaris melihat putrinya setelah didandan dari jam lima subuh tadi.

"Anak Ayah juga. Sudah seperti putri kerajaan," tukas Yaris kemudian berdiri di belakang kursi yang diduduki oleh Justica. Keduanya saling bertatapan lewat cermin, seakan keduanya hanya berkomunikasi lewat tatapan itu.

"Ayah percaya, kamu bisa, Nak," ucap Yaris kemudian. Ia merangkul Justica dari belakang, sedikit menunduk. Justica juga langsung memegang kedua tangan ayahnya.

"Maaf kalau permintaan Ayah kali ini memberatkan kamu." Yaris mencium puncak kepala Justica lama dengan mata yang tertutup. Tak berselang lama, sudut matanya mengeluarkan cairan bening.

Justica yang menyadari itu langsung membalikkan badannya. "Ayah kenapa nangis?" tanya Justica lalu mengusap pipi Yaris yang sudah tergenang air mata. Pria berumur empat puluh sembilan itu hanya menggelengkan kepalanya, lalu menuntun Justica supaya bisa berdiri. Ia kemudian memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang.

"Kamu tahu apa yang terberat buat Ayah?"

"Mengihklaskan bunda," jawab Justica.

"Itu salah satunya. Yang kedua adalah harus melepas putri Ayah untuk laki-laki lain. Itu juga akan menjadi patah hati terbesar seorang ayah di seluruh dunia. Kebayang kalau selama ini, Ayah yang selalu ada buat Ica, Ica yang selalu ada buat Ayah. Sekarang, Ayah harus mempercayakan kebahagian kamu pada orang yang akan mendampingimu. Semoga bahagia selalu, ya, Nak!"

Air mata Justica sudah tak bisa ia tahan. Ia menangis, di dada ayahnya. Orang yang paling berjasa di dalam hidupnya. Yang selalu melindunginya, bahkan selalu membela dirinya di saat yang lain hanya mampu menjatuhkannya. Laki-laki pertama yang mencintainya tanpa batas. Kalau pernikahan seorang anak perempuan menjadi patah hati terbesar seorang ayah, maka itu pun akan sama halnya dengan yang dirasakan oleh anak perempuan. Hari itu pun akan menjadi hari patah hati terbesarnya. Mungkin orang lain hanya akan berpikir, pernikahan itu adalah hari besar di mana di dalamnya hanya akan berisi kebahagiaan. Tapi tidak dengan beberapa orang. Menikah berarti harus melepas dan mengikhlaskan beberapa hal.

"Ica ... Ica cuma pengen Ayah bahagia. Itu juga sudah menjadi kebahagiaan Ica, Yah. Ica makasih banget sama Ayah karena udah rawat Ica dari kecil sampai sekarang Ica udah besar. Ica sadar, Yah. Selama ini, Ica banyak banget buat hati Ayah terluka. Ica belum bisa bahagiain Ayah, belum bisa jadi kebanggaan Ayah. Ica ... Ica minta maaf, Yah."

Air mata Yaris semakin mengalir di kedua sisi pipinya. Ia melepas pelukannya dan menatap wajah anak semata wayangnya. Ia mengambil tisu yang ada di atas meja rias dan mengusap air mata Justica dengan lembut, takut-takut jika riasan anaknya rusak. Padahal sebelumnya, Justica sudah dipoles menggunakan produk kecantikan anti air semua.

Pak Sekala AstraningratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang