PS - 51

2.2K 112 3
                                    

Jangan lupa berjejak!
Hepi Ridings!

***

Perang dingin untuk pertama kalinya, akhirnya tercetus di keluarga Sekala. Bahkan semalam juga keduanya terpisah kamar. Justica juga tidak tahu, jam berapa Sekala kembali ke rumah semalam. Sejak kepergian Sekala, Justica memilih untuk tidur di kamar ayahnya, tanpa mengobati lukanya.

Tanpa sepengetahuan Justica, Sekala menemui Sekar setelah ia mengindahkan ancaman yang diberikan oleh wanita licik itu. Tentu saja Sekala tahu, dalang di balik luka yang dibawa pulang oleh istrinya itu siapa. Makanya dengan penuh emosi, ia menemui Sekar dengan maksud mengecam wanita itu. Untuk ke sekian kalinya, Sekala menjadi dilema.

Tak banyak yang bisa ia lakukan, selain menyelamatkan dua wanita yang memang saat ini sedang menjadi tanggungannya. Untuk sementara dan selamanya.

Udara yang dingin tak mengurungkan niat Justica untuk berpindah posisi. Ia masih setia duduk di teras rumahnya. Kejadian semalam benar-benar terputar di otaknya. Dari ia yang diserempet, lalu dibentak oleh semuanya. Sebuah kasus yang sepertinya bersinggungan. Namun, ia juga tak mau berasumsi terlalu jauh.

Ia menyugar rambutnya ke belakang. Bodoh bila Justica tak merasa sakit hati atas perlakuan Sekala tadi malam. Bukannya meminta maaf, pagi-pagi Sekala sudah menghilang dari rumah.

Justica mencoba untuk bodo amat. Tapi yang ada, ia terus-terusan memikirkan alasan di balik marahnya Sekala. Itu jelas-jelas mengganggu pikiran Justica, bahkan ia tak tidur sama sekali. Dulu, ketika ia beradu emosi dengan Sekala, Justica merasa biasa saja. Tapi, sekarang, Justica mengambil hati semua yang dikatakan oleh Sekala.

Iya, ia sudah jatuh cinta pada pria itu. Justica mencintainya. Dan tak ada alasan lagi untuk mengelaknya. Tapi untuk jujur, ia belum memiliki kemauan.

"Bengong mulu. Mikirin apa, woi!"

Justica tersentak kaget saat pundaknya ditepuk keras oleh Arin. Ia mendengkus, lantas memukul bokong Arin dengan botol minum yang dari tadi ia pegang.

"Awh! Gila, kenapa, sih, lu? Ganas bener."

"Lha, lu yang kenapa, bego! Datang-datang bikin kaget. Kalau gue serangan jantung, mau tanggung jawab lu?"

Dengan santai, Arin duduk di sampingnya, lengkap dengan cengengesannya. Bukan hanya Arin yang datang. Migo dan Natan juga ikut, tanpa Valen tentunya.

"Halah, canda doang. Lagian, lu bengong mulu sampai nggak nyadarin kedatang kita. Si Natan bahkan udah klakson tadi. Keknya, pikiran lu kali ini bener-bener berat, ya?"

"Bagi, dong, Ca. Gue juga lagi pengen pusing, nih, selain mikirin biaya buat nikah," kata Migo mencoba menghibur. Sayangnya, Justica terlihat biasa-biasa saja.

"Kenapa? Semalam pesan gue juga nggak lu balas. Terakhir pas lu bilang abis diserempet sama mobil. Bikin khawatir." Natan berucap. Lalu matanya ia alihkan pada luka-luka Justica yang tampaknya belum diapa-apakan.

"Udah mendingan luka lu? Nggak diobatin?" tambah Natan lagi.

Justica tersenyum lalu merangkul Natan dan Arin yang duduk di sampingnya. Migo jadi terasa asing di sana. "Gue nggak papa. Khawatiran amat, deh. Takut kalau gue sekarat, ya? Takut kehilangan gue, ya?"

Pak Sekala AstraningratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang