PS - 42

2.5K 137 1
                                    

Jangan lupa voment!
Hepi Ridings!

***

Meski dengan mata sembab, Justica tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ada bahagia tersendiri yang ia rasakan setelah mengunjungi makam sang bunda bersama ayah dan suaminya. Tak lupa juga, ia menyempatkan membeli satu ikat bunga lili sebelum ke makam.

Tadi, Justica menumpahkan segala kerinduan yang hanya boleh ia simpan selama ini. Bahkan juga rasa bersalah; yang diam-diam masih menghantuinya sepanjang hidupnya. Bohong kalau kejadian kecelakaan tempo dulu bisa ia lupakan begitu saja.

Namun, Justica belajar untuk menerima suaminya. Senyumnya kembali ia rekahkan. Mengingat Sekala memperkenalkan diri sebagai menantu tadi cukup membuatnya terhibur. Entah mengapa, tapi momen itu begitu lucu menurutnya.

Terhitung ada sejam mereka di makam tadi karena mereka bertiga menyempatkan diri untuk membersihkan makam sang bunda, walau hampir setiap hari, kawasan pemakaman itu dibersihkan oleh petugas.

Yaris tentu tak tanggung-tanggung memakamkan istrinya di tempat yang bagus, meski harus merogoh goceng yang cukup banyak.

"Cokelat panasnya, Ca."

Justica menatap tiga gelas cokelat panas yang baru saja dibawa oleh Sekala dari dapur.

"Mas yang nyeduh?" tanya Justica penasaran.

"Bukan, tapi ayah."

Justica hanya mengangguk sekilas. Berarti ia sudah lama termenung dengan tivi yang menyalah di depannya.

"Ayah mana?"

"Di dapur. Kamu, dong, sana masak. Ya, kali Ayah yang masak buat makan malam kita," ucap Sekala.

"Iya, lho. Baru juga jam enam."

"Tapi Mas sudah lapar, Ca," ucap Sekala memegangi perutnya. Justica jadi terkekeh geli dibuatnya.

"Dasar perut karet. Ya, sudah. Saya masak dulu. Biar ayah ke sini nemanin Mas."

Sekala lalu duduk di sofa yang di tempati oleh istrinya. Matanya tak lepas dari penjuru rumah ayah mertuanya. Keningnya berkerut, seperti memikirkan sesuatu yang teramat serius.

"Mikiran apa, Nak? Sepertinya terlalu serius," ucap Yaris yang baru saja duduk di sofa lainnya. Sekala hanya tersenyum sekilas.

"Enggak, Yah. Cuma mikirin jadwal yang sepertinya bakal tabrakan besok," kilah Sekala yang tentu saja berbohong.

Yaris yang paham, menatap Sekala selidik. "Saya sudah jadi mertuamu, Nak. Bukan lagi rekan bisnis, jadi jangan nutupin apa-apa dari Ayah," kata Yaris tegas.

Sekala membasahi kerongkongannya yang terasa kering dengan cokelat yang sudah hangat di depannya.

"Saya berencana mau mengajak Justica buat pindah ke sini. Ayah keberatan nggak? Mengingat kondisi Ayah dan tak punya siapa-siapa di sini jelas membuat khawatir. Termasuk Justica. Pasti juga Justica tidak bakal tenang setelah ini. Mikiran Ayah terus. Saya rasa ini udah jadi jalan tengah. Kita juga satu kota. Aneh rasanya kalau membiarkan Ayah tinggal seorang diri," terang Sekala menjelaskan semua yang sudah ia pikirkan sejak dalam perjalanan dari makam tadi.

Pak Sekala AstraningratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang