PS - 28

3K 135 3
                                    

Jangan Lupa Berjejak!

Hepi Ridingsss ....

Oh iya. Mohon tandai kalau ada saltik atau typo.

****

Justica menghela napas, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk duduk di balkon kamarnya, menikmati angin malam yang semoga bisa menyejukkan isi kepalanya. Langit malam begitu cerah, sampai bintang-bintang pun terlihat betah di sana. Tapi tidak dengan suasana hati Justica yang kini bercabang-cabang. Satu cabang saja sudah melelahkan, bagaimana kalau udah lebih dari satu?

Setelah percakapan tadi, Justica belum mengeluarkan kalimat balasan sama sekali. Ia masih tak percaya dengan apa yang dikatakan ayahnya. Terdengar seperti bumerang, tapi tidak dengan sorot mata ayahnya yang memperlihatkan kesungguhan di dalam sana. Yang menjadi pusat pikirannya sekarang adalah kenapa harus Sekala jika memang ayahnya begitu niat menikahkannya dalam waktu dekat? Ia bahkan sampai tak habis pikir.

Udara yang dingin tak membuatnya beranjak dari balkon. Ia malah menatap langit, dengan mata yang fokus pada satu-satunya bintang yang paling terang dibanding dengan yang lainnya. Kata ayahnya pas ia masih kecil, bintang yang paling terang itu adalah wujud bundanya yang sudah bahagia di surga.

Ia mencoba tersenyum, walau terlihat terpaksa. Ia merindukan bundanya. Sangat. Mungkin kalau bundanya masih hidup, segala pikiran yang menumpuk di kepalanya tak akan sampai membuatnya kelelahan seperti ini. Ia mengusap matanya sebelum bola-bola kristal itu menyentuh permukaan pipinya.

"Kehidupan memang harus terus berlanjut, kan, Nda? Semoga Bunda selalu berbahagia di sana," lirihnya sebelum kembali ke kamar. Itu semua tak luput dari perhatian Sekala yang dari tadi memerhatikan dirinya dari dalam mobil, yang ia parkir sedikit jauh dari pekarangan rumah Justica.

Baru saja ia ingin merebahkan tubuhnya di atas kasur, panggilan telepon mengusik pendengarannya. Ia kemudian mengambil ponselnya dan membaca nama yang terterah di layar.

"Halo!"

"Mau keluar sebentar?"

"Ke mana?"

"Ke mana saja. Saya sudah di depan rumahmu."

Justica melihat jam dinding. Baru jam sembilan kurang. Ia memastikan omongan yang ada di telepon dulu. Ada mobil hitam yang sangat ia kenali. Tanpa membuang-buang waktu, ia kemudian keluar dari rumah. Ia tak perlu meminta ijin karena dipastikan ayahnya sudah tidur.

Mobil itu pun beranjak dari pekarangan. Jalanan masih terlihat ramai. Namun, suasana di mobil itu hanya tersisa kesunyian. Tanpa suara apa pun. Keduanya tenggelam dalam keheningan masing-masing. Justica menatap sekitar, saat mobil yang ia naiki berhenti di depan taman kompleks.

"Saya tahu, isi kepalamu terdapat banyak pertanyaan. Apa salahnya kalau kita berdua saling bertukar pikiran."

Justica ikut turun kemudian mengikuti langkah kaki jenjang laki-laki yang ada di hadapannya. Taman masih menyisakan banyak pasangan. Keduanya segera duduk di salah satu bangku panjang yang tak jauh dari mobil yang sudah diparkir.

Tak langsung membuka suara, keduanya masih sibuk dengan isi pikiran semasing. 

"Soal perkataan ayah saya tadi, Bapak sudah tahu?" tanya Justica menatap laki-laki yang duduk di sampingnya. Sekala hanya mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Pantas saja reaksi Bapak biasa saja. Lalu, apa tanggapan Bapak soal ini?"

"Soal apa?"
"Ya, soal ini. Saya dan Bapak."

"Ya, saya serius."

"Serius gimana?"

Sekala menaikkan bibirnya sekilas sebelum menjawab. Ia kemudian menatap gadis yang ada di sampingnya. "Kamu tahu umur saya sudah berapa, Justica. Tidak lucu kalau saya masih bercandain hal seserius ini," ungkap Sekala.

Pak Sekala AstraningratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang