BLOOD HALLUCINATION

10 2 0
                                    

Jessica POV

Mendekam dalam kamar berbentuk persegi empat, tetapnya di atas lantai dua bangunan rumah. Membolak-balikkan gelang berwarna hitam bertuliskan Eterno. Benda itu tak sengaja aku temukan di pesta dansa, kemarin malam.

Otakku masih bingung seputar kata Eterno yang tertulis melingkari gelang berwarna silver itu, karena mesin pencarian internet juga enggak bisa mengupas apa arti dari tulisan tersebut.

Seketika ponsel berdering di samping kiri, aku mengambil ponsel dan menatap layar kaca dan melihat sebuah notifikasi dari jendela pemberitahuan.

Pesan singkat datang dari Nakula—sahabatku di sekolah. Rupanya dia telah sampai depan rumah lebih awal dari perjanjian, karena aku telah mengiyakan permintaannya untuk keluar malam ini, aku pun melompat dari kasur dan keluar menuju pintu.

Membuka secara perlahan, dugaan pun benar. Nakula sudah datang dengan jas hitam lengkap dengan arloji di tangan sebelah kirinya. Wajah yang dia miliki sama persis pada Brama—kakaknya. Akan tetapi, aku masih tertarik pada Brama. Entah kenapa.

Selepas menutup pintu, aku menuju cowok bermata minimalis di depan mobil berwarna putih. Karena pemikiran sedari tadi berkutat prihal Brama, aku sesekali menoleh menuju dalam mobilnya.

"Jess, lu nyari siapa?" tanyanya spontan.

"Lu sendirian, Nakula." Kedua bola mata masih sama ketika tadi, menoleh ke dalam mobil.

"Brama enggak ikut," tukasnya.

"Lah, kenapa? Bukannya ... kalian enggak pernah terpisahkan?" titahku seraha membuang pertanyaan.

"Entar gue jelaskan," gerutunya.

Karena aku tak mau memperpanjang pertanyaan, akhirnya kami memasuki mobil dan bergegas pergi. Pada menit awal, kami tak tahu hendak ke mana. Karena aku tak memahami tempat special di kota Arizona. Nakula saja yang penduduk asli—tak tahu tempat yang paling nyaman.

Akhirnya, kami menepi ke salah satu kedai kopi. Tepat di pusat kota Arizona, yang terletak di pinggir pantai. Semilir angin menerpa, serta suasana dingin menyergap tubuhku.

Kami sibuk dengan ponsel masing-masing. Bagaimana tidak, untuk memulai berucap rasanya sangat keluh. Tak seperti ketika dekat dengan Brama—kakaknya—Nakula. Gairah untuk bersama pemuda berhidung mancung itu seakan telah tertulis dalam otak, sehingga mulut tinggal berucap saja.

"Jess," panggil cowok berambut sedikit gondrong itu.

Seketika kutoleh lawan bicara, dan langsung mematikan ponsel. "Iya, ada apa?"

"Lu udah jadian belum sama Brama?" tanyannya dengan wajah penasaran.

"Gue enggak ada hubungan apa-apa sama Brama. Tapi ...." Kugantung ucapan sejenak.

"Tapi apa, Jess?" timpalnya.

"Sebenarnya gue kagum sama kakak lu."

"Apa, sih, yang membuat cewek secantik lu kagum dengan pemuda jutek seperti kakak gue?" Nakula pun merespons pernyataan dariku sedikit ngegas. Alhasil, aku seakan merasa tidak enak jika harus mengatakan kekaguman ini lebih jauh.

"Ya, kagum aja."

Nakula kembali membungkam. Ternyata, dia memiliki sifat pecemburu yang kuat. Tak seperti Brama. Bahkan, pemuda yang menjadi saudara kembar dari Nakula itu membebaskan wanitanya untuk memilih orang yang disayangi. Tanpa ada kekangan, dan pembatasan dalam bergaul.

Malam ini, tampak bulan purnama bersinar terang. Suara serigala mengaung dan terdengar jelas di kedua lubang telingaku, bulu kudu meremang seketika. Tak pernah aku merasakan hal ini sejak awal menginjakkan kaki di kota Arizona.

VANCE ETERNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang