Brama POV
Pagi ini, aku akan kembali ke sekolah. Karena, sudah hampir sepekan tak masuk. Semoga saja para guru tidak memarahiku perihal kepergian itu beberapa hari secara berturut-turut.
Aku mengenakan seragam sekolah sesuai dengan ketentuan hari Senin. Ketika taksi melintas di pinggir taman, tampak sebuah mobil yang tak asing tengah terparkir.
"Pak, stop-stop!" teriakku pada sopir di depan.
Seketika pemuda paruh baya di depan menginjak rem dengan seketika.
"Huh! Hampir aja saya menabrak pohon bunga Tanjung," katanya seraya mengelus dada.
Tampak dari luar jendela, itu adalah mobil milik Jessica yang terparkir. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah, dia sedang apa berhenti di sana. Akibat dari rasa penasaran yang berlebihan, aku pun keluar taksi dengan cepat.
"Pak, ini ongkosnya." Menggunakan tangan kanan, aku menyodorkan selembaran uang kertas padanya.
Lawan bicara meraih uang itu dan berucap, "terima kasih, Nak."
"Oke-oke," responsku singkat.
Tas ransel pun tak lagi ada di pundak, karena aku meletakkan benda itu hanya di satu lengan saja. Akibat dari rasa yang sangat buru-buru, aku pun sampai di balik pintu mobil berwrna putih dengan jendela tertutup rapat.
Dari luar tampak gelap dan tidak ada orang sama sekali, mungkin karena jendela mobil milik Jessica berwarna sedikit hitam dari mobil milikku. Akhirnya, aku mengetuk jendela kaca secara perlahan.
"Jess, lu ada di dalam? Hallo ...." Mulut pun kembali membungkam karena orang yang ada di dalam mobil tak merespons.
Kehabisan akal untuk mengetahui apa yang tengah Jessica lakukan di pinggir taman. Untuk masuk ke dalam mobil dengan merubah wujud menjadi gas pun, rasanya tidak bisa. Tidak ada ventilasi yang terbuka untuk aku menyelinap.
"Jess, ayo, buka pintunya. Lu pasti ada di dalam, 'kan?" tanyaku sendiri di pinggir trotoar.
Menggunakan tangan kanan, aku kembali mengetuk pintu. Ternyata, terdengar suara seseorang dari dalam mobil itu. Kedua bola mata mendelik setelah mendapati wanita yang sedari tadi aku duga ada di dalam. Ya, dia adalah Jessica.
Tanpa membalas kata, dia mendelik ke arah jendela mobil dan membuka pintu. "Brama, lu ngapain di sini?"
"Yey! Malah balik nanya lu. Yang harusnya bertanya itu gue. Lu ngapain di sini? Enggak punya rumah?" Aku melempar ekspresi seperti orang bodoh dengan sedikit cengengesan melihat gelagat aneh wanita berambut sepinggang itu.
Mendengar pernyataan dariku, Jessica pun menoleh kanan dan kiri seperti orang bingung. Kemudian, dia membuka pintu mobil sebelah kiri. Tanpa basa-basi, aku masuk ke dalam mobilnya dan kami duduk bersebelahan. Jessica sesekali tampak menoleh sekilas ke arahku, akan tetapi masih membungkam.
Tampak dari kedua bola matanya seperti tengah menangis, karena berwarna merah dan pipinya juga membengkak. Menggunakan tangan kanan, aku menyentuh pipinya dengan sangat lembut.
"Jess, lu enggak apa-apa?" tanyaku, tatapan masih memandang penuh lawan bicara.
"Brama, gue-gue ...."
Seraya menanti ucapannya, dagu pun mendongak sedikit. "Lu kenapa ...?"
Tanpa membalas perkataan, wanita berambut sepinggang itu memeluk tubuhku sangat erat. Dia pun menangis histeris seperti tengah patah hati, entah masalah apa yang dia hadapi saat ini. Yang pasti, aku hanya bisa menenangkan tanpa bisa bertanya lebih jauh. Mungkin kalau nanti dia sudah merasa sedikit tenang, barulah pertanyaan akan datang padanya bertubi-tubi.
KAMU SEDANG MEMBACA
VANCE ETERNO
VampiroTelah dibaca oleh jutaan pasang mata, atau sebuah novel yang diangkat dari sudut kehidupan paling buram. Mengantarkan kisah tiga Ras yang tak pernah berdamai. Namun, mereka sempat hidup satu wilayah sebelum akhirnya kembali bertikai ketika seorang g...