Pemikiran masih berkutat perihal bunga penawar racun yang kini telah mati karena badai salju. Tepat di tengah hutan, aku bersimpuh seraya mengubah posisi menjadi jongkok. Tak lama setelahnya, sebuah kilau cahaya datang dari unjung penglihatan.
Defgan yang berada di belakang badan secara spontan bergerak menuju pusat cahaya itu. Tepat di pinggir lereng pegunungan dengan sangat terjal dan jurang yang teramat dalam. Karena rasa penasaran terus menghujaniku, sekarang aku putuskan untuk bergegas menemui semburat kecokelatan itu.
Berlari sekencang embusan angin, kami pun sampai di sebuah gua dengan ukuran lumayan besar. Defgan menoleh ruang gelap di depan seraya masuk dengan langkah mengendap-endap, dia juga menatapku sekilas.
Rupanya, pemuda berwajah tampan itu tengah mengajakku untuk memasuki gua tersebut. Akhirnya, kami memutuskan untuk masuk. Setelah sampai di tengah ruang gelap itu, kami berhenti. Penglihatan menjadi sangat samar karena cahaya meredup semakin jauh kedua kaki ini melangkah.
Sekitar lima menit berjalan, kami tercengang dengan sebuah kilau keemasan di ujung gua itu. Ternyata, bunga yang sedari tadi kami cari tengah tumbuh di sana.
"Def, apakah ini bunga yang kita cari?" tanyaku seraya menoleh lawan bicara di samping badan.
"Sepertinya begitu. Tapi ...." Defgan pun menggantung ucapannya.
"Tapi apa, Def?" timpalku.
"Gue rasa ini bunga yang berbeda, deh," cetus pemuda berambut cepak itu.
"Berbeda bagaimana? Gue rasa sama aja, tapi ... gue enggak tahu pasti bentuk bunga itu. Soalnya, sampai saat ini belum pernah dengar perihal keajaiban yang dapat dihasilkan olehnya."
Kemudian, Defgan melangkah ke depan. Namun, dia terpental karena sebuah dinding transparan dan tak terlihat mengunci bunga itu. Seketika aku berjalan dan menemui pemuda berambut cepat di hadapan, dia meringis seperti tengah tersengat listrik.
"Def, lu enggak apa-apa?" tanyaku spontan.
"Enggak, Jess. Gue enggak apa-apa," titah Defgan sekenanya.
Kini adalah saatnya aku harus turun tangan, mungkin dengan sedikit kekuatan yang aku miliki saat ini, bisa mengimbangi sengatan listrik itu. Potret seputar kekuatan yang ada dalam tubuhku pernah keluar pada Brama saat memeluk, dia terpental jauh.
Mungkin dengan adanya kekuatan yang sama, maka gerbang transparan itu dapat terbuka. Aku meletakkan tangan kanan di perbatasan antara dinding itu dan posisi kami berpijak, awalnya terasa biasa saja, tiba-tiba.
Brug!
Rupanya aku juga terpental jauh dari dinding itu.
"Jessica ...," teriak Defgan.
Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, aku mencoba untuk bangkit dari posisi terjatuh. Akhirnya, badan pun mampu berdiri tegap seraya menatap dinding itu. Di samping kanan, pemuda berusia delapan belas tahun berambut cepak tampak bingung.
Sang pemilik kekuatan abadi dari bangsa vampir pun tak mampu menembus dinding transparan itu. Kami kehabisan akal untuk melanjutkan misi dan mengambil bunga tersebut. Tubuh yang ditimpali rasa kelelahan, membuat kami harus beristirahat sejenak.
***
Malam telah tiba, tepat di dalam gua yang sedikit demi sedikit gelap dan berair. Tepat arloji menujukkan pukul 24:00 tengah malam. Dengan begitu, usiaku bertambah menjadi tujuh belas tahun tepat di malam ini. Suara kecipak terdengar seakan membasahi lintas tengah gua, murka semesta sepertinya tak hanya sampai di situ.Seketika aku merogoh ponsel di dalam kantong celana, terputar kembali kilas balik potret ketika setahun lalu di kota Barcelona. Dari ujung penglihatan, Defgan pun melengkah mendekatiku.
Pemuda berusia delapan belas tahun itu duduk di posisiku seraya menoleh sekilas. Perawakannya sama persis dengan—Brama—saudaranya. Ternyata, keluarga dari ketururnan Vance Eterno hampir sama semua. Berwajah sayup dan gampang menebar senyum manis.
"Jess, lu enggak apa-apa?" tanyanya.
"Enggak. Gue enggak apa-apa," responsku.
"Sudah jangan lu pikirin lagi. Kita pasti akan berhasil membawa bunga itu pulang dan menyembuhkan Brama," paparnya seakan meyakinkanku.
"Thanks, ya. Gue enggak tahu harus balas semua jasa lu dengan apa sekarang. Karena gue benar-benar enggak mau kehilangan Brama di dunia ini," timpalku dengan nada suara lirih.
"Oh, ya, usia lu sekarang berapa tahun?" Defgan pun membuang tatapan menuju tembok gua.
"Gue berusia tujuh belas tahun, tepat di malam ini."
"Apa? Jadi, malam ini lu lagi ulang tahun?" titah Defgan lagi.
"Iya, gue malam ini genap tujuh belas tahun," jelasku.
"Selamat, ya, kalau gitu." Defgan menyodorkan tangan kanannya.
"Terima kasih, Def." Aku meraih sodoran darinya.
"Oh, ya, lu mau doa apa malam ini?"
Karena Defgan telah mengingatkan aku, tepat di malam ini tatapan pun sejurus menuju langit-langit gua seraya meneteskan air mata.
'Tuhan, engkau adalah pemilik seluruh alam semesta. Sesungguhnya engkau yang dapat menyembuhkan Brama dan membuatnya kembali bersama kami, semoga doa ini terlaksana sesuai dengan harapan orang-orang tercinta.'
Selang beberapa menit berdoa, gua pun bergetar seperti ingin runtuh.
"Jess, kita ke sana. Sepertinya tempat ini akan runtuh," ajak Defgan seraya menarik tanganku erat.
"Oke," responsku singkat.
Akhirnya, kami berdua berlari menuju koridor gua. Ketika kami sampai di sudut dinding, bebatuan pun runtuh karena tengah terjadi badai salju yang sangat dahsyat, hiruk pikuk bebatuan menutup setengah penglihatan.
Selang beberapa menit, peristiwa pun berhenti, kami kembali berjalan sedikit menyibak permadani bebatuan yang menggerompok untuk mendekati bunga itu.
Sesampainya di dinding transparan yang menjadi batas wilayah pemisah, batu berukuran sangat besar kembali terjatuh dari atas kepala dan menghantam tubuhku.
Brug!
Penglihatan pun buram seakan tiada yang bisa terlihat lagi. Namun, di kedua telinga terdengar jelas teriakan seorang pemuda yang sangat histeris.
"Jessica ... bangun, Jes."
Dalam samar, aku membuka sedikit demi sedikit kedua bola mata. Karena rasa sakit itu sangat keterlaluan, akhirnya kelopak pun tak mampu untuk bertahan.
Kita berbicara soal perjuangan, bukan berdasarkan apa yang dirasa telah pantas. Jika semua pengorbanan itu sia-sia, bukanlah visi itu yang salah. Namun, waktunya saja yang belum tepat. Jika sudah saatnya tiba, sekencang apa pun badai menerpa untuk memisah, tak akan pernah bisa.
Hakikatnya, kesempurnaan hanya dimiliki oleh sebagian manusia yang tak pernah memandang cinta itu ada. Sebab, bagi mereka yang telah memiliki cinta, semua kekurangan akan tampak sempurna. Tujuan hati tercipta adalah untuk saling melengkapi, bukan untuk mencari kesalahan satu dan lainnya.
Mungkin perjuanganku saat ini adalah sebuah awal kegagalan. Namun, kegagalan yang sekarang akan membawaku untuk bersama orang-orang tersayang sebagai mana sudah menjadi sebuah perjanjian.
Berjuang itu mutlak, merelakan adalah cara cinta untuk hijrah. Maka, perjuangkan cintamu. Setelah semua terasa sia-sia, berarti tugasmu telah selesai. Jangan tangisi, jangan ratapi. Pemilik alam semesta ada pada manusia yang mau merela, walau terkadang dengan cara yang menyakitkan.
Leaving is not the solution to the problem. In fact, humans are weak creatures. What can make you strong, is the one you have considered your soulmate. Your presence can change everything.
KAMU SEDANG MEMBACA
VANCE ETERNO
VampireTelah dibaca oleh jutaan pasang mata, atau sebuah novel yang diangkat dari sudut kehidupan paling buram. Mengantarkan kisah tiga Ras yang tak pernah berdamai. Namun, mereka sempat hidup satu wilayah sebelum akhirnya kembali bertikai ketika seorang g...