Nakula POV
Malam itu, tepat di bulan purnama penuh dan sinarnya menerpa semesta. Tepat di kota Arizona yang sangat lembab, dingin, dan hampir tak merasakan betapa istimewanya sinar matahari.
Curah hujan di kota Arizona hadir—hampir setiap harinya. Baik dalam skala besar, maupun hanya sebatas rintik-rintik. Yang pasti, tepat di malam ini kota begitu bersahabat dengan cuaca.
Mengenakan topeng berwarna hitam, serta garis merah di pinggir tali terbuat dari bahan karet, menambah pesona di wajahku begitu menawan. Pesta dansa yang diadakan setahun sekali itu membuatku tak ingin ketinggalan, momen yang terjadi mampu membuat bangsa vampir mendapatkan jodoh dengan cepat.
Begitulah persepsi yang konon membuat pamali itu seakan menjadi nyata. Tapi apa boleh buat, aku pun menghadiri acara malam ini. Karena memang ayah dan ibu bertemu di sebuah ruang ketika melaksanakan pesta dansa.
Bersama dengan—Brama—saudara kandungku. Kami pun pergi bersama para rombongan yang lainnya sebagai satu geng. Sama-sama mengenakan jubah hitam dan sepatu hitam, serta topeng hitam—tentunya. Kini, kami telah memenuhi syarat untuk mengikuti pesta tersebut.
Melangkah dari kamar lantai dua, aku menoleh seseorang yang sedari tadi menatap cermin di ruang tamu. Dia adalah Brama. Pemuda yang mampu membuat cewek-cewek memekik ketika sudah melihat pesonanya.
Ketika aku sampai di belakang tubuhnya, dengn tangan kanan kusentuh jubah hitam yang dia pakai.
"Lu udah ganteng," ucapku singkat.
Kemudian, lawan bicara menoleh sedikit dan menatap dengan senyum semringah.
"Eh, lu." Selesai menoleh, dia kembali menatap cermin.
"Bang, gue ingin punya pasangan malam ini."
"Emang, kalau lu punya pasangan, mau untuk apa?" tanyanya seperti tanpa ada masalah.
"Gue ingin menikah."
"Gila lu! Kita masih sekolah, mana boleh menikah. Kata ayah, kita harus lulus sekolah dan belajar untuk mendapatkan ilmu keabadian."
"Bang, gue suka enggak tahan kalau lihat cewek," titahku seraya berdiri di sampingnya dan memperbaiki kerah jubah.
"Nakula, kita adalah makhluk yang abadi. Jadi, lu enggak usah buru-buru menikah. Kita enggak bakal mati seperti manusia," tukasnya sambil memasang wajah masam.
"Lu enggak normal, Bang," cibirku lagi.
"Bukan enggak normal. Menurut ramalan gue, kita akan mengalami yang namanya peristiwa besar ke depannya."
Mendengar ucapan itu, aku membungkam. Karena, sampai saat ini ucapannya tak pernah meleset. Dia adalah orang yang paling hebat prihal membaca masa depan. Namun, aku tak bisa menahan nafsu ketika mendekati tubuh manusia.
Hanya ada dua hal ketika aku bersanding dengan makhluk bumi. Antara memangsa, atau membunuh. Meski terdengar sama saja, bagiku itu berbeda.
Selesai berdandan, kami pun bergerak menuju sebuah garasi mobil tepat di samping rumah. Brama pun membawa mobil dengan tingkat kecepatan yang netral, dia seakan fokus menatap lurus tanpa mau berkata.
Memiliki abang yang punya sikap dingin, membuat hidup ini selalu monotone. Tak ada warna dan tidak memiliki kesan, karena sampai saat ini aku tak tahu seberapa besar kasih sayangnya—padaku—adiknya.
Memakan waktu hampir sepuluh menit, kami pun sampai di rumah Gilbert, dan yang lainnya. Mereka telah menunggu dan siap pergi bersama kami. Sesuai dengan kesepakatan, busana kali ini khas dengan seorang pangeran lengkap dengan topeng hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
VANCE ETERNO
VampirosTelah dibaca oleh jutaan pasang mata, atau sebuah novel yang diangkat dari sudut kehidupan paling buram. Mengantarkan kisah tiga Ras yang tak pernah berdamai. Namun, mereka sempat hidup satu wilayah sebelum akhirnya kembali bertikai ketika seorang g...