"Tunggu," ucap seseorang dari arah belakang secara tiba-tiba.
Ketiga tenaga medis dan aku terdiam di ambang pintu yang ingin menghambur sejurus keluar ruangan. Aku yang tadinya berjalan sedikit gontai, harus menjadi patung batu karena panggilan itu.
Semetara jantung berdecak seperti bunyi jarum jam, seketika kutoleh menuju arloji. Tepat pagi ini telah terdengar desas-desus dari arah belakang, dengan sedikit beringsut, kami menatap secara bersamaan.
Rupanya, Brama telah menggerakkan kedua tangan hingga menumbuhkan hiruk pikuk suasana. Memekik gelisah dengan menggeser posisi tidur beberapa kali. Karena sangat penasaran, kami putar badan.
Berjalan gontai dengan menyondongkan badan ke arah pusat tatapan. Rupanya, transfusi darah yang kami lakukan berhasil pada hari ini. Rasa senang tak terkira menghujam seluruh jiwa raga, tak sia-sia aku telah menahan rasa sakit luar biasa dengan pengambilan darah dari urat nadi.
"Dok, Brama kembali hidup," cetusku seraya membuang tatapan wajah sangat semringah.
"Iya, Mbak. Perjuangan Anda tidak sia-sia. Selamat, berarti cinta Anda yang tanpa tarik ulur dalam membantu di dengar oleh Tuhan. Lihatlah, kami sampai menitihkan air mata," respons ketiga tenaga medis berperawakan tampan di belakang.
Sepertinya mereka ikut senang dengan kejadian pagi ini, termasuk aku yang masih bergelut pada perasaan tak percaya. Meski Brama hanya mampu menggerakkan tangan saja, rasa senang seperti membelah tujuh benua dan menyebrangi lautan darah.
Kini aku percaya perihal cinta tulus, karena kekuasaan Tuhan tampak nyata di kedua bola mata. Ulu hati sedang mengendarai armada menuju balai cinta di ujung samudra, bersama dengan orang paling spesial dalam kehidupan yang kembali bernapas di alam semesta.
Air mata pun ambil andil dalam bagiannya. Bagaimana tidak, sedari tadi berkutat dengan bulir terengah-engah seperti telah melakukan marathon jauh. Tepat di samping kiri pemuda berwajah pucat itu, kutatap kedua bola matanya yang mulai memerah.
Tak hanya itu, pancaran semburat cahaya kemerahan juga aku alami sejak kemarin. Pasalnya, sejak kejadian yang menyatakan aku mati suri, kini dapat merasakan secara detail lingkungan sekitar. Baik yang berjarak dekat hingga yang berjarak seratus meter dari posisi badan.
Rasa-rasanya aku dan Brama seperti hidup kembali dari reinkarnasi, seperti film-film yang ada dalam sebuah mitologi. Namun, decak jantungku pun tak ada sejak kemarin. Mungkin saat ini aku telah sepenuhnya bergabung di bangsa vampir, karena hormon itu lebih besar mengarah ke bangsa berwajah pucat.
Tidak apa-apa jika akhirnya aku menjadi bagian dari bangsa IMMORTAL. Karena sejatinya, kedekatan diri ini pada Brama juga enggak bisa dipisah. Apalagi sampai jiwa bersikeras untuk saling beranjak pergi dari semesta.
"Dok, apakah Brama akan baik-baik aja sekarang?" tanyaku pada ketiga pemuda di posisi samping.
Dengan sigap, salah satu dokter berperawakan tampan dengan alat stetoskop di lehernya memeriksa suhu badan cowok di tempat tidur rumah sakit. Dia meletakkan alat itu tepat di dada Barama seraya tercengang, mungkin mendapati kejadian aneh lagi.
"Dok, Anda kenapa?" tanyaku secara bertubi-tubi.
"Detak jantung pasien tidak ada, suhu badannya juga sangat dingin."
"Coba saya yang cek pasien," ujar salah satu dokter di posisi kananku.
Mencoba mengambil stestoskop yang tersedia di dalam nakas, pemuda berseragam putih dengan kacamata bulat itu meletakkan alat yang sama di dada pusat jantung. Ekspresinya juga sama saja, kedua alis si dokter ikut mengernyit.
KAMU SEDANG MEMBACA
VANCE ETERNO
VampirgeschichtenTelah dibaca oleh jutaan pasang mata, atau sebuah novel yang diangkat dari sudut kehidupan paling buram. Mengantarkan kisah tiga Ras yang tak pernah berdamai. Namun, mereka sempat hidup satu wilayah sebelum akhirnya kembali bertikai ketika seorang g...