Tak berapa lama, bel pulang sekolah berbunyi sangat keras. Dengan sigap, kususun rapi buku-buku ke dalam sebuah tas ransel. Terdengar hiruk pikuk di dalam kelas, satu persatu siswa dan siswi menghambur keluar satu jurus menuju akses satu-satunya ruang kelas.
Karena suasana sangat riuh dan mereka memadati lokasi dengan berjalan menggerompok, alhasil kedua tangan ikut menyibak mereka satu persatu.
"Permisi," ucapku.
"Ih, Brama main tabrak gue aja," jawab cewek berkepang dua dengan rambut dikuncir itu.
"Sorry-sorry," titahku.
"Enggak apa-apa, kok, ganteng."
'Ih, ini cewek kenapa wajahnya gitu banget mendongak ke arah gue. Iya kali gue sengaja nabrak, tuh, anak.'
Selesai bermonolog dalam batin, aku melanjutkan berjalan sedikit berlari. Saking riuhnya suasana, tapak kaki seakan limbung dan sangat gontai. Bagaimana tidak, di depan barisan sejurus masih ada guru Biologi yang menenteng berkasnya. Kalau kupaksa menerobos, berkas di tangannya bisa berantakan di lantai.
Padahal, dari ujung tatapan tampak Jessica yang berjalan sangat kencang. Dari raut wajahnya seperti ada kekecewaan, entah apa yang dia rasakan. Sementara dari belakang tubuh—kekasihku, Baref dan yang lainnya mengikuti.
Tiga dari bangsa Askati itu tampak mengendap-endap dari balik koridor. Firasatku mengatakan bahwa mereka akan berbuat jahat lagi pada Jessica, seperti dengan kejadian waktu itu di tengah hutan Arizona.
Tanpa membuang banyak waktu, aku pun bergegas menyibak siswi yang menggerompok di depan pintu. Tepat langkah kaki sampai di ujung fodium, Jessica mengarah ke parkiran mobil.
Sepertinya dia tidak sadar kalau sedang diikuti dengan bangsa Askati dari belakang. Sesuai perjanjian awal, siapa yang lebih dulu pulang harus menunggu di dalam mobil. Agar kejadian tak diinginkan tidak terjadi untuk kedua kalinya. Tiba-tiba, seseorang memukul pundakku perlahan dari arah belakang.
Orang itu keluar dari dalam toilet tepat di lantai satu.
"Brama," panggilnya.
Nada suara itu seperti kukenal, sekilas kutoleh siapa gerangan. "Eh, Def."
"Lu kenapa terengah-engah gitu? Seperti dikejar hantu aja tau enggak," ledeknya seraya membuang cengir semringah.
"Lu kenapa, Bang?" timpal Nakula dari samping kiri, dia sedari tadi sibuk dengan ponselnya saja.
Karena aku ingin memberitahukan sesuatu, seketika langkah pun berhenti di depan majalah dinding dekat dengan kantor kepala sekolah.
"Kalian lihat ke arah sana." Menggunakan tangan kanan, kutunjuk gelagat tiga siluman dari bangsa Askati itu.
"Iya, itu Jessica. Emang kenapa?" tanya Defgan.
Seketika Nakula memukul kepala Defgan. "Bukan Jessica yang dimaksud Brama. Tapi yang di belakang Jessica."
"Oh, iya. Itu bangsa Askati. Kok, mereka ngikuti Jessica," timpal Defgan sekenanya.
"Nah, itu dia yang gue curiga." Aku mengernyitkan kedua alis.
Sekilas kuoleh Nakula yang sedang berpikir dengan menyentuh keningnya menggunakan jemari. Dia pasti sedang mencari akal untuk membalaskan dendam kami ketika dibantai habis-habisan di tengah hutan Arizona, bulan lalu.
"Gue punya ide," cetus Nakula spontan.
"Apa?" timpalku.
"Sini gue bisikin." Nakula pun mengatakan rencana yang sangat hebat untuk menjebak mereka lagi di tengah hutan Arizona.
KAMU SEDANG MEMBACA
VANCE ETERNO
VampireTelah dibaca oleh jutaan pasang mata, atau sebuah novel yang diangkat dari sudut kehidupan paling buram. Mengantarkan kisah tiga Ras yang tak pernah berdamai. Namun, mereka sempat hidup satu wilayah sebelum akhirnya kembali bertikai ketika seorang g...