LITTLE GIRL IN ARIZONA CITY

5 2 0
                                    

Pagi telah tiba, seperti kesepakatan yang kami buat kemarin, kalau aku akan mulai masuk sekolah pagi ini. Meski penuh dengan kekhawatiran perihal ketiga ras yang ada di sekolah tengah memburu darahku.

Kata Brama, sebisa mungkin harus lebih dekat dengan mereka, agar mereka tahu kalau darah yang terdapat di dalam tubuh ini bukanlah untuk diperebutkan.

Menggunakan mobil berwarna putih, aku bergegas meninggalkan rumah tepat arloji menunjukkan pukul 07:15. Pagi dengan terik matahari yang sangat minim, aku mengenakan jaket hitam agar terhindar dari basahnya embun.

Sekarang aku dalam situasi di mana harus percaya dan berani melawan mereka. Bukan berarti melawan dengan cara baku hantam, akan tetapi melawan rasa takut yang berlebih. Sesungguhnya rasa takut itu muncul dari diri sendiri, bukan melalui faktor lain.

Sesampainya di depan sekolah, aku segera menuju koridor dan memarkirkan mobil. Dari ujung penglihatan, tampak ramai para siswa dan siswi memadati lokasi majalah dinding.

Karena sangat penasaran, aku pun bergegas meningkalkan parkiran mobil dan menuju pusat tatapan. Seketika kudongakkan kepala menuju seseorang yang sepertinya asing, akan tetapi seperti pernah terlihat. Karena pesan dari Brama tak boleh mendekati siapa pun, akhirnya aku putuskan untuk bergegas pergi.

Melintasi pemuda asing berdasi hitam di samping kanan, sekilas kutoleh wajah tampan itu. Sepertinya dia juga menoleh ke arahku, karena dia tak memedulikan kerumunan siswi yang ada di sekolah.

Entah apa yang dilakukan para siswi perempuan itu, ketika melihat anak baru dengan perawakan tampan, mereka seakan ingin mengenalnya.

Terjadilah peristiwa saling tukar tatap antara aku dan pemuda itu. Tepat di depan majalah dinding, SMA Tunas Bangsa. Dengan langkah lebar, akhirnya aku sampai di depan kelas. Sekitar dua pekan pergi tanpa kabar, para siswa dan siswi di dalam ruangan menatap heran. Selang beberapa menit, bel pun berbunyi sangat keras.

"Jessica," panggil seseorang dari samping kanan.

Seketika kutoleh orang tersebut. "Iya, ada apa?"

"Lu dari mana selama ini?" tanyanya.

"Gue keluar negeri karena ada urusan keluarga."

"Oh, gue kira ke mana. Lu tahu enggak kalau—" Lawan bicara pun bangkit dari posisinya dan duduk di samping kananku.

"Tahu apa, Res?" tanyaku spontan.

"Kemarin, sekolah kita gempar banget tau," cetusnya seraya menatap sekilas ke wajahku.

"Gempar bagaimana?" Kutoleh sekilas lawan bicara.

Sebelum dia menjawab, guru pelajaran Biologi memasuki ruangan. Akhirnya, percakapan kali ini terputus.

"Selamat pagi anak-anak," sapa pak guru sembari duduk di kursi paling depan.

"Selamat pagi, Pak ...," respons seisi ruangan.

Terpampang jelas di papan tulis akan kejadian kemarin di sekolah. Semua seakan terecam jelas di dalam otakku. Padahal, kemarin aku masih bersama Brama. Peristiwa pertikaian terjadi lagi, antara bangsa dari ras Askati dan siluman serigala.

Yang terlihat di sana bahwa, Erka tewas dengan cara mengenaskan, yaitu mendapat serangan dari Virgin dan Emma. Semakin hari, keganasan tiga ras di sekolah menjadi momok mengerikan. Namun, aku tak mau mengikuti skenario mereka. Karena, menurut rumor yang terdengar bahwa mereka mengincar darah yang ada dalam tubuhku.

Selesai berkutat dalam batin, bel istirahat pun berbunyi. Seluruh siswa dan siswi menghabur keluar, termasuk Resi. Dia tak melanjutkan perkataannya tadi. Setelah ruangan sunyi, barulah aku merasakan gemetar hebat. Dari ambang pintu, seseorang seperti tengah menatapku tajam.

VANCE ETERNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang