LOVE DESTROYS EVERYTHING

4 2 0
                                    

Defgan POV

"Jessica ...," teriakku dari sudut gua.

Wanita berwajah cantik di hadapan pun pingsan karena pukulan keras dari bebatuan yang menimpahnya. Goncangan terjadi karena badai salju di luar sangat besar, ditambah hujan dan semilir angin begitu dingin merasuk ke dalam tulang.

Aku berlari setengah kencang seraya menghindari bebatuan yang masih berjatuhan dari atas langit-langit, takutnya jika aku pingsan juga, kami akan tertimbun di dalam gua tersebut. Wanita berambut sepinggang itu tertidur mengeluarkan darah segar dari kepalanya, membuat perut semakin mual dan ingin memangsa.

Di sisi lain, Jessica adalah sahabat terbaikku, dia milik Brama. Mana mungkin aku mengkhianti sepupuku sendiri demi nafsu keabadian milik Jessica saat ini. Seketika, tembok perbatasan pun terpecah akibat benturan batu berukuran sangat besar. Tanpa mengeluarkan tenaga sama sekali, aku dapat dengan mudah untuk mengambil bunga itu.

Sekarang, tinggallah aku memilih antara Jessica atau bunga itu. Perasaan bingung menyergap, tak mampu untuk memilih di antara satu untuk aku selamatkan lebih dulu.

'Oke, gue akan ambil bunga itu lebih dulu. Setelah gue mendapatkannya, barulah membawa Jessica pergi. Iya, itu ide yang sangat bagus,' batinku.

Selesai membatin, aku berlari sekencang embusan angin. Tepat di sebuah lereng yang dipenuhi dengan bunga penawar racun untuk menyembuhkan Brama dari virus bangsa Askati. Memetik dua tangkai rasanya sangat susah, tak seperti apa yang tadi aku pikirkan.

Akhirnya, berkat kekuatan yang saat ini aku miliki, aku mampu untuk mengambil bunga tersebut. Memboyong dua tangkai bunga penawar racun itu lalu dengan sigap kembali menemui Jessica yang masih terkapar di lantai gua. Tepat di hadapan gadis berambut sepinggang dengan posisi bersimpuh, kuangkat dia seraya meletakkannya di posisi badan belakang.

Durasi bunga itu hanya berkhasiat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam saja. Selebihnya, bunga tersebut akan musnah dan tak ada guna. Kami meninggalkan gua yang sedikit demi sedikit hancur, aku berhasil keluar dengan tepat waktu.

'Huh! Hampir saja gue mati kena tumpukan batu itu. Jess, lu harus bertahan. Kita akan menuju rumah sakit dan lu dapat kembali sehat,' batinku lagi.

Selesai bermonolog, aku melanjutkan langkah dengan sedikit berlari di atas permukaan salju yang mulai menumpuk. Kaki pun tak bisa berlari lebih kencang. Pasalnya, salju telah menimbun sekitar satu meter permukaan bumi semesta. Tanpa basa-basi lagi, kufokuskan pandangan menuju depan seraya menerpa badai angin yang kian membasahi badan.

Rasa-rasanya, aku tak sanggup lagi untuk berjalan. Dikarenakan badai kota Arizona tahun ini terbilang sangat besar, tidak seperti dengan keadaan yang sudah-sudah berlalu. Bermodalkan sepatu dan kedua tangan yang membawa bunga seraya memegang tubuh Jessica di belakang, aku pun sampai di tengah hutan.

Semak belukar tak lagi terlihat, hanya batang pepohonan saja yang berdiri tegap. Dilengkapi dengan salju sebagai daunnya, sungguh suasana hutan Arizona tak memiliki warna selain putih dan kabut tebal. Napas yang terengah-engah mengeluarkan embusan asap putih dari mulut.

Karena aku adalah bangsa vampir, terpaan badan salju tidak menimbulkan efek apa pun di kulit. Sejatinya, kami menyukai hawa dingin dan gelap. Sumpah bangsa vampir dalam bumi semesta hanya ada dua kata saja, yaitu: gelap dan dingin.

Naif memang, menantang ironi sebuah kehidupan yang dipenuhi manusia. Semua tidaklah seperti yang aku bayangkan sebelumnya, karena hidup berdampingan dengan makhluk lemah seperti manusia.

Selesai berkutat dalam pikiran, kami sampai di depan mobil tepat di pinggir jalan hutan Arizona. Namun, karena banyaknya pengendara yang lalu lalang melintasi aspal, jalanan pun tidak tertutup salju seperti wilayah lainnya. Hal tersebut membuatku sedikit lega, karena bisa menginjak gas mobil dengan sangat kencang.

VANCE ETERNOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang