Jessica POV
Pagi itu, tepat di kota Arizona. Aku kembali pulang ke rumah dan bersama dengan rasa malu tingkat keterlaluan, membuatku susah untuk melangkah masuk. Tak hanya itu, dari ambang penglihatan, sang ayah masih duduk sendiri di kursi sofa seraya membaca koran.
Akan tetapi, dia tak menyadari bahwa akhirnya aku kembali lagi. Tatapannya memang mengarah ke selembar koran. Namun, perihal pikiran mungkin entah ke mana perginya. Rumor yang terdengar di telingaku adalah, menurut omongan tetangga sekitar, sang ayah selalu bertanya kepala sahabatku di samping rumah.
Pasalnya, memang sejak kepergianku satu minggu yang lalu, ponsel tak pernah aktif dan sengaja aku matikan. Ya, bukan apa-apa. Sekedar jaga-jaga bila ada nomor asing yang masuk tak dikenal, karena dahulu aku hampir menjadi korban keganasan manusia asing yang hendak melakukan perbuatan jahat.
Memasuki gedung rumah tanpa mengucap salam, aku berdiri di hadapan sang ayah yang tak menggubris kehadiranku. Mungkin dia sedang fokus membaca, atau malah melamun.
"Ayah," panggilku singkat.
Satu panggilan tak terjawab, seraya menarik napas panjang, aku mengulang sekali lagi.
"Ayah." Mendengar ucapan itu, akhirnya pemuda paruh baya di depan mendongak.
Tatapan tajam yang dia lempar seakan membuat relung hati ini terasa sangat sakit. Bagaimana tidak, sejak kepergianku sepekan lalu, tubuhnya tampak sangat berubah. Baik dari segi penampilan, cara berpakaian, hingga bau badan yang sepertinya tak mandi beberapa hari.
Kemudian, pemuda paruh baya itu meletakkan selembar koran itu di atas meja, dia pun mengubah posisinya menjadi berdiri tegap dan menatap seluruh tubuhku dari pangkal kaki hingga ujung kepala.
Tanpa basa-basi, sang ayah memeluk tubuhku dengan sangat erat. Tangisan tersedu-sedu juga turut ambil andil dalam dramatisnya suasana, seketika aku tak mampu membentung air mata yang pecah di pundaknya.
"Jessica. Benarkah itu dirimu, Nak?" tanyanya memastikan.
Tanpa mampu membalas ucapan itu, aku hanya mengangguk dua kali sebagai respons. Tertatih dari kota Barcelona dan kembali memikul rasa malu menghadap sang ayah yang telah tua termakan usia. Betapa naifnya aku, meninggalkan dia tanpa alasan yang jelas.
Kini, aku akan memulai hidup yang baru di kota Arizona. Ya, tanah kelahiranku. Apa pun risikonya, aku akan bertahan demi orang-orang yang masih cinta perihal kehadiran ini. Setelah sekian detik memeluk, aku mengajak sang ayah untuk duduk di atas kursi sofa.
"Yah, mengapa enggak mandi?" cetusku melempar pertanyaan.
Lawan bicara hanya menggeleng. Sebelum akhirnya, dia mencium bau badanya di bagian ketiak dan lengan.
"Jess, ayah enggak ada gairah hidup setelah kepergianmu. Jangankan untuk mengurus badan, untuk menjaga nyawa yang tersisa hanya beberapa hari ke depan aja, ayah tak kuat." Menggunakan tangan kanan, sang ayah merangkulku lagi.
Tak henti-hentinya air mata mengalir. Belum lagi mengering, kini ditimpali lagi. 'Tuhan, jika aku adalah tergolong orang yang durhaka pada orang tua. Hukum aku, agar dosa itu bisa terhapuskan.'
Selesai bermonolog dalam hati, aku pun bangkit dari sofa dan menggandeng sang ayah menuju dapur. Dia mengikuti langkah kaki ini dari arah belakang, rupanya dia tahu kalau aku menyuruhnya untuk mandi.
Tanpa banyak komentar, pemuda berusia lima puluh tahun itu pun masuk ke kamar mandi dan terdengar tengah membasuh badannya.
Persekian menit membersihkan diri, dia kembali keluar dan telah memakai baju yang ada di dalam kamarnya. Tampak dari wajah itu sudah sangat tidak layak ditinggal sendiri, apalagi sampai berhari-hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
VANCE ETERNO
VampireTelah dibaca oleh jutaan pasang mata, atau sebuah novel yang diangkat dari sudut kehidupan paling buram. Mengantarkan kisah tiga Ras yang tak pernah berdamai. Namun, mereka sempat hidup satu wilayah sebelum akhirnya kembali bertikai ketika seorang g...