Day 14

1.2K 157 8
                                    

Note : enjoy reading~ 💞

🌹🌹🥀

Hyeri duduk di ruangan keluarga milik Rose. Dia berkunjung setelah mendapatkan izin dari ayah Rose untuk datang. Kebetulan juga Rose baru pulang dan segera berjalan dari parkiran setelah melihat mobil Hyeri terparkir di parkiran rumahnya. Ia menemukan sosok Hyeri disana.

"Ah, kamu udah pulang." Kata Hyeri dengan senyuman.

"Apa ayah yang mengizinkanmu kemari?" Tidak dapat ditutupi lagi bahwa hubungan Rose dan Hyeri bukan hanya sekedar teman dekat-walau semenjak Hyeri mengutarakan perasaan sukanya, hubungan mereka sedikit menjarak. Namun bagi Rose mereka sudah seperti keluarga, kakak dan adik. Itulah alasan mengapa Ia tidak bisa menerima gadis itu.

Hyeri mengangguk. "Aku ingin ngomongin sesuatu sama kamu,"

"Kalau itu soal hubunganku dengan Jennie, lebih baik kau diam saja." Helaan nafas Rose terdengar kasar. Hyeri memang tidak pernah berhenti membahas hubungan mereka, seolah-olah membenci dan menolak segala yang berhubungan dengan Jennie dan Rose.

"Kau berubah, Chaeyoung." Tatapan Rose mengarah ke Hyeri. Suaranya pelan namun terdengar tegas dan keras. "Aku gak percaya kalau Chaeyoungie yang ku kenal menjadi seperti ini. Kita sudah berteman sejak lama, wajar kalau aku punya perasaan sama kamu. Tapi kamu? Kamu malah deketin Kim Jennie dengan cara yang memalukan seperti itu! Sadar gak kamu kalau kehormatanmu di sekolah sebagai cucu yayasan telah tercoreng akibat ulahmu itu?"

Rahang Rose mengeras. Dia memang bertindak gegabah dengan mengutarakan perasaannya di acara penerimaan siswa baru. Bahkan sang kakek sempat memarahinya, membuat malu sekolah, katanya. Ia juga dengar bahwa ayah Jennie juga kena ganjarannya.

"Hubunganmu dengan Jennie gak akan bisa bertahan, Chaeyoung-ah. Jennie bahkan tidak mengenal dirimu dengan baik seperti aku mengenalmu. Lagipula bukannya dia enggak akan pernah melihatmu jika kamu tidak bertindak diluar akal sehat seperti itu?" Hyeri mendekati Rose. Kali ini mata mereka bertemu. Jarak diantar mereka semakin dekat.

Rose diam tidak berbicara sepatah katapun. Otaknya berpikir dan mencerna ucapan Hyeri barusan, ia tenggelam pada pikirannya sendiri. Bahkan saat Hyeri menyentuh kedua pundaknya dan mendaratkan ciuman tepat di bibirnya selama tiga detik itu, Rose masih terdiam.

"Pikirkan baik-baik hal itu, Chaengie. Segala konsekuensinya jika kamu dan Jennie bersama. Dan jika hatimu mulai goyah, aku akan disini menunggumu." Hyeri melepas genggamannya lalu beranjak pergi tanpa membiarkan Rose membalas tiap runtunan kata-katanya.

Etah mengapa kini dada Rose menjadi terasa sesak. Ia merasa matanya panas dan berair. Rose berdecak lalu buru-buru menyeka air matanya yang mulai jatuh ke pipinya. "Sial!"

~~~

Aku sedang duduk di ruang tamu sambil melihat katalog di majalah yang dibeli Lia kemarin sore. Lalu aku mendengar suara mobil sedan hitam yang familiar untukku di depan rumah. Pria gagah yang ku sebut Papa-pun muncul dari depan pintu.

"Hai, Pa."

"Ah, Jennie. Kebetulan kamu disini..." Papa mengendurkan dasinya dan duduk di sofa, berhadapan denganku.

"Ada apa, Pa?" Papa tidak biasanya mengajakku berbicara seperti ini. Kebetulan sekali Mama baru muncul dari dapur dan melihat Papa dengan raut serius. Setelah berbincang sebentar, Mama melihatku seraya mengangguk, lalu beliau meninggalkan kami ke dapur.

"Jadi.. Papa mau bicara apa sama Jennie?"

"Ini soal Rose."

Jantungku seolah berhenti ketika Papa menyebut nama hubby. Dari tatapan Papa, aku tahu ini adalah situasi yang buruk. Tanpa sadar, aku menggigit bibirku sendiri.

"Sebenarnya, kepala yayasan telah memperingati Papa soal dirimu dan Rose.." ia menghela nafasnya. Sorot matanya terlihat begitu lelah. Aku berkeringat dingin, merasa was-was akan apa yang ayahku akan katakan selanjutnya.

"Apa yang beliau katakan, Pah?"

"Hanya sebuah peringatan sederhana. Dia bilang bahwa dirimu dan Rose tidak seharusnya memiliki hubungan diumur kalian yang sekarang. Dan Rose harus fokus pada pendidikannya. Kau juga. Kau adalah atlet tenis yang kami banggakan, kamu akan menghadiri turnamen akhir tahun dan harus fokus pada latihan." Jelas Papa dengan helaan nafas di akhir. Dadaku berdegup tak karuan. Ada rasa sesak yang tidak dapat aku hilangkan. Sesuatu seperti tertahan di kerongkonganku dan rasanya sakit sekali.

"Apa Papa .. melarangku dekat dengan Rose?" Tanpa sadar aku bertanya dengan bibir dan suara yang bergemetar.

"Aniyo. Papa tidak melarangmu berteman dengannya, sayang. Hanya saja.." Papa menatapku dengan tatapan lembut nan sendu, ".. Papa hanya tidak ingin kamu bermasalah, Jenniyaa."

"Kenapa Papa tidak bilang sejak awal?" Air mataku menetes. Ini tidak adil! Kenapa ini semua terjadi saat aku mulai menyukai Rose? Papa mengusap wajahnya, seolah menyesal telah membuatku menangis.

"Papa minta jaga jarakmu selama di sekolah, Papa tidak menyuruhmu menjauhi dia.." Papa mendekat padaku, mengusap pundakku lembut. "Kalau kamu memang menyukainya, kamu boleh berjuang untuknya. Waktu kalian masih panjang, ada saatnya kalian boleh pacaran nantinya."

Aku benar-benar merasa ini tidak adil. Setelah berhari-hari yang aku lalui dengan Rose, Papa bahkan tidak memberitahuku soal ini. Kenapa baru sekarang? Kenapa saat hubungan kami baru berjalan beberapa hari, kini harus kandas begitu saja? It's not fair!

Aku bahkan tidak nafsu makan dan malas untuk turun dari kasur. Bahkan Lia sampai masuk ke kamar dan membawakan makananku yang sudah dingin karena pendingin ruanganku. Aku menghirup nafas berat. Mataku basah dan sembab. Ponsel yang terus berdering tidak ku hiraukan walau aku tahu itu pasti dari Rose.

Sampai ku dengar suara gadis yang familiar di telingaku, suara Rose. Aku tertawa pedih, apa begitu kepikirannya sampai aku merasa dia berdiri depan kamarku dan memanggil namaku?

"Wifey!"

Suaranya terdengar lagi. Eh? Cangkamman!

"Wifey. Ini aku Rosie-mu!"

Aku buru-buru bangkit dari kasur dan membuka pintu kamarku. Hal yang pertama aku rasakan adalah pelukan hangat dari hubbyku. Aroma tubuhnya begitu manis merasuk paksa kedalam indera penciumanku.

"Lia telfon katanya kamu mogok makan, apa itu benar hm?" Suaranya yang lembut membuat seluruh tubuhku bergetar dan air mataku terasa akan bergulir lagi. Rose melepas pelukannya dan kami saling bertatapan. Ia menatapku dengan raut wajah khawatir. "Kenapa wifey menangis?"

Aku diam tak menjawab. Hanya menangis sesegukan sampai Rose menggiringku ke kasur. Ia meraih gelas di nakas dan menyuruhku minum. Tangannya mengelus lembut punggungku.

"Ssssh. Jangan menangis, sayang. Ada hubby disini."

Lia yang berdiri di daun pintu hanya melihat kami dengan tatapan sendu lalu berjalan ke bawah. Rose memelukku lagi, Ia membiarkan aku menangis lagi di bahunya. Rasanya sakit saat aku mulai menyadari bahwa aku sudah ketergantungan pada gadis di sampingku ini. Gadis yang telah membuatku jatuh hati hanya dalam hitungan hari saja.

"Baiklah, menangislah jika itu membuatmu lega. Keluarkan semua perasaanmu, baby.." katanya dengan lembut. Ia mengecup pucuk kepalaku lalu mengelus rambutku. Tanpa ku sadari, ia juga sedang menahan tangisnya. Menahan rasa sakit karena menyadari bahwa dialah yang membuatku seperti ini.

.
.
.
.
.
.

TBC

I luv drama 🔥

Don't forget to vote 😉

Luv yaa 🌹❤️

30 Days Of Summer (Chaennie 🔞🔞)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang