Day 16

1.3K 168 8
                                    

Note : vote and comments please 😊

🐈🐈🐈

Aku menarik nafas panjang saat melewati Rose dan Hyeri yang berada di koridor dekat kelasku. Semenjak Rose menjauhiku, Hyeri jadi lebih sering terlihat di koridor kelas dua, padahal dia kan kelas tiga.

Aku merasakan hal yang gak sewajarnya aku rasakan, cemburu. Ya, aku cemburu. Kali ini aku ungkapkan terus terang pada diriku sendiri bahwa aku kesal melihat kedekatan mereka berdua.

Aku tahu Hyeri menyukai Rose, aku tau bahwa mereka lebih lama saling mengenal, dan aku juga tahu bahwa mereka adalah sahabat tapi apakah aku salah kalau aku cemburu melihat mereka sedekat itu? Aku kan masih pacar Rose, kurasa aku berhak merasa cemburu jika dia terlalu dekat dengan gadis lain.

Sudah beberapa hari kita pacaran-yang awalnya aku risih menjadi nyaman-- tapi kenyamanan itu malah membuatku ragu sekarang. Aku menyesal. Kenapa aku menerima Rose secepat ini? Akhirnya apa? Sekarang dia malah ngejauhin aku tanpa sebab yang jelas.

Harusnya aku marah saat dia rela mempermalukan dirinya sendiri di depan semua orang atau menjauhinya tiap kali ia berusaha berbicara denganku. Sekarang semuanya terasa menyakitkan, aku bahkan tak tau harus berkata apa lagi.

Nafasku sesak, begitu sesak saat menyadari bahwa Rose tak lagi mencariku. Dia gak ada saat aku sedang latihan tenis, atau menungguku sepulang sekolah.

"Kak, apa kakak baik-baik saja?"

"Hah?" Aku menoleh pada Lia yang berjalan disampingku.

"Kamu terlihat lelah, apa ini ada hubungannya dengan Rose?"

Aku diam tak menjawab namun aku yakin Lia pasti mengerti dari tatapanku saja. Buktinya dia langsung mengangguk dan fokus berjalan. Aku tak mengerti kenapa aku begitu sensitif ketika berbicara soal Rose. Sampai kami tiba di rumah. Aku masih tetap terdiam.

Kami makan malam bersama dan untuk pertama kalinya, suasana makan malam ini tidak sehangat yang dulu bagiku. Pikiranku melayang kemana-mana. Memikirkan orang yang mungkin bahkan tisak memikirkanku lagi.

"Papa dengar ketua yayasan akan memindahkan Rose ke luar negeri,"

Prangg

Aku menghentikan aktifitas makanku, sendok yang tadinya berada ditanganku kini tergeletak di lantai. Aku langsung menoleh pada Papa, "apa?"

"Dia akan dipindahkan. Apa kamu tidak tau?"

Aku menggeleng. Dadaku rasanya sesak sekali, untuk bernafaspun rasanya sungguh sulit. Papa cuma mengendikkan bahunya dan melanjutkan makannya, "Papa pikir kamu tau karena kamu dekat dengannya."

"K-kemana dia akan pindah?"

"Papa tidak tau. Tapi kakeknya sudah meminta untuk mengurus berkas-berkasnya."

"Sejak?"

"Baru hari ini," jawab ayahku dengan santai. Tiba-tiba nafsu makanku hilang. Rose akan pindah? Aku tidak tau harus merespon apa. Aku izin masuk ke kamar tanpa menghabiskan makananku. Jangankan makan, gairah hidupku saja rasanya sudah tidak ada.

Ku raih ponselku dan tidak ada satupun notifikasi dari Rose semenjak kemarin. Kemana dia? Apa dia benar-benar ingin menjauhiku? Setelah apa yang telah Ia lakukan padaku?

Aku meringkuk di atas kasur, pipiku mulai basah dengan airmata yang mengalir deras dari bola mataku. Aku benar-benar tak menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini. Aku tak menyangka jika Rose akan membuangku begitu saja, seperti boneka yang sudah jenuh Ia pakai.

🐿️🐿️🐿️

Rose menatap layar ponselnya yang sudah penuh dengan ketikan-ketikan pesan untuk Jennie, namun tak jadi ia kirim. Ia hapus semua ketikan itu dan mengerang. Apa yang harus Ia katakan pada Jennie? Maaf? Karena telah menjauhinya tanpa sebab, mengabaikannya setelah mendapatkan keperawanannya? God, dia benar-benar merasa seperti orang berengsek sekarang.

Pintu kamarnya di ketuk, seorang pelayan memunculkan kepalanya dari balik pintu. "Nona, anda dicari oleh tuan besar."

"Baik, aku segera kesana." Dengan langkah berat, dia melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan yang merupakan tempat kerja ayahnya. Dia menghela nafas, mempersiapkan mental agar bisa bertemu dengan ayahnya yang lama tinggal di luar negeri.

"Appa, mencariku?"

"Hei, nak. Duduklah."

Rose melihat pria itu masih sibuk dengan layar PC-nya. Sudah tiga hari semenjak ke pulangan sang ayah namun Rose masih saja canggung. Terakhir ia bertemu dengan sang ayah adalah selepas kelulusan SMP.

"Ada apa, Appa?"

"Um. Appa tidak ingin basa-basi padamu, Rosie. Jadi ayah akan langsung mulai, ini soal dirimu dan juga Jennie-ssi."

Rose menelan ludahnya, ia menunduk takut. Jantungnya berdebar tak karuan sekarang, bahkan ia bisa rasakan telapak tangannya mulai berkeringat.

"Apa benar kau dan Jennie berpacaran?" Rose mendongak menatap sang ayah dengan wajah panik.

"I-itu..."

"Salah satu ART disini berkata bahwa kamu sempat menginap bersamanya di Hotel Appa.."

"Itu ... Benar..Appa, mianhae" Rose menunduk lagi, takut kalau ayahnya akan memarahinya. Namun kemudian ia merasakan kepalanya diusap oleh tangan sang ayah.

"Aku senang kamu menemukan orang yang cocok untukmu, nak."

"A-appa tidak marah?"

"Marah? Hahaha. Untuk apa Appa marah?"

"Karena.. aku..." (Sudah meniduri anak orang?) Tak mungkin Rose memberitahu ayahnya soal itu. Bisa digorok dia sama Appa Park.

"Kalau kamu mau bilang Appa marah hanya karena kamu sudah berani mengungkapkan perasaanmu pada Jennie depan semua orang.. hahaha, kau salah, nak. On the contrary, Appa sangat bangga padanu. Kamu mengingatkan Appa pada saat berusaha mengejar ibumu mati-matian, Rosie."

Tanpa sadar air mata membendung di sudut mata Rose. Ia pikir ayahnya akan marah. Apalagi kemarin ia memintanya untuk pindah bersamanya ke luar negeri. Tapi ternyata tidak. Ayahnya sama sekali tidak marah padanya.

"Appa sudah mendengar semuanya. Appa memintamu pindah karena Appa pikir kamu kesepian.."

"Appa..."

"Appa akan berusaha meminta kakek untuk membatalkan kepindahanmu. So from now on, nikmatilah masa SMA-mu bersama orang yang kau sukai, anakku."

Rose tersenyum, lalu ia memeluk erat sang ayah sembari menangis.

"Gomawo, Appa."

.
.
.
.
.
.

TBC

Jennie masih sad girl di chapter ini, but not for long 😌😊

30 Days Of Summer (Chaennie 🔞🔞)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang