Pak Liam dan Perhatiannya

5.2K 247 5
                                    

Meskipun gue malu berat, pada akhirnya pun gue tidur dengan nyenyak. Nyatanya, gue bisa bangun pagi tanpa rasa kantuk. Tapi, rasa malu kembali membayangi gue. Apalagi sekarang.

Saat ini, gue dan Pak Liam sedang menikmati sarapan pertama yang gue buat. Gue dari tadi hanya diam setelah menyiapkan nasi dan sayur sop di mangkok Pak Liam. Gue tidak punya nyali untuk bicara dengannya.

"Taran."

"Pak."

Setelah dia menyebut nama gue, gue sengaja memanggilnya balik. Gue gak akan memberikannya kesempatan berbicara panjang. Beruntungnya, Pak Liam membiarkan gue untuk bicara terlebih dulu.

"Pak Liam berangkat duluan aja. Saya ada kelas masih siangan sedikit. Jadi, saya nanti mau naik ojol aja," ucap gue dengan posisi kepala menunduk dan berpura-pura fokus makan.

"Ta-"

"Pak!" potong gue cepat. Kali ini gue berani melihat wajahnya. Dua detik, mungkin.

"Maaf, kalau sarapan pagi ini tidak sesuai selera Bapak. Keahlian memasak saya masih minim, dibanding Bapak. Emmm, kalau emang gak enak jangan dilanjut makan."

"Ta-"

"Pasti gak enak ya, Pak. Jangan dimakan lagi. Nanti saya belikan di kantin, terus saya kasih ke Bapak."

Gue berniat mengambil alih mangkok Pak Liam, tapi dia menahan tangan gue.

"Taran."

"Sop buatan kamu enak. Saya suka," lanjut Pak Liam yang membuat gue mendongak, menatapnya yang menatap gue sekarang ini.

Dengan segera, gue menunduk lagi dalam hitungan detik. Dia melepas tangannya. Gue pun duduk kembali.

"Jangan menunduk," ucapnya dingin.

"Tatap saya ketika saya sedang bicara," lanjutnya dengan nada lebih tegas dan masih dingin untuk gue rasakan.

Gue perlahan menaikkan pandangan, menatap lurus ke arahnya. Dia tersenyum tipis, tapi tetap berhasil meluluh-lantahkan siapapun yang belum terbiasa melihatnya.

"Bagus. Sekarang, dengarkan saya baik-baik. Kita lupakan saja apa yang terjadi saat itu. Bagaimana?"

Gue mengangguk.

"Untuk sarapan yang kamu masak, saya sangat menyukainya. Ini lebih dari enak untuk masakan seseorang yang mengaku sulit memasak."

"Apapun yang kamu masak, saya akan memakannya. Karena kamu yang memasaknya."

"Sekarang, kamu ganti pakaian kamu. Siap-siap kuliah. Saya tahu kamu juga masuk jadwal pagi hari ini," lanjut Pak Liam yang ternyata sudah tahu kebohongan gue tentang jadwal kuliah.

Gue gak akan bisa menang atas Pak Liam. Kenapa gue selalu berada di situasi tidak bisa apa-apa saat di depannya?!!!

***

Gue menidurkan kepala gue di meja. Gue benar-benar frustasi dengan ingatan yang terus berputar di kepala. Sekalipun gue sepakat untuk melupakan accident itu, justru kalimat gue meminta Pak Liam tidur sama gue semakin menghantui. Terngiang-ngiang.

"Lo kenapa?" tanya Riri yang baru saja tiba.

"Gue frustasi."

"Frustasi? Gegara ini kelas Pak Liam? Atau karena lo jadi asistennya udah banyak disuruh?" tanya Raka yang datang bersama Riri.

Gue baru berhasil menyadari ucapan Raka, lima detik kemudian.

"Hah? Sekarang kelas Pak Liam?!" tanya gue balik.

"Lah iya. Lo sampai kelas ini karena tau jadwal, kan?

"Iya, tapi gue cuma tau ini jadwal Desain Lansekap. Gue gak tau sekarang jadwalnya Pak Liam yang ngisi," balas gue pada Raka. Sungguh gue makin frustasi. Bagaimana gue bisa fokus di matkul yang gue suka kalau Pak Liam yang ngajar nanti?!

LIAM : My Crazy LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang