Perang Dingin Kuadrat

3.6K 189 4
                                    

Waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Tugas kelompok gue baru saja selesai. Kami memang sengaja bekerja berjam-jam supaya tugas ini langsung selesai. Tidak cukup waktu lagi jika ditunda-tunda.

Mungkin sebab itulah, Pak Liam menelpon gue dan memaksa untuk menjemput. Gue iyakan karena teman-teman lain sudah pulang, kecuali Lucas. Dia memaksa untuk menemani gue menunggu Pak Liam.

Gue menganti-anti ucapan Raka. Takut di saat seperti inilah Lucas mengatakannya.

"Ran."

"Kenapa?"

"Gue suka sama lo," ucap Lucas tanpa basa-basi menjadikan hal ini sangat tiba-tiba buat gue.

"Kaget banget sih lo. Lo gak peka banget ya?"

Gue bukan gak peka. Gue pura-pura gak tahu, ganteng!

"Lo kan emang gitu ke banyak cewek. Mana gue tau-"

"Beda, lo spesial."

Lo kata gue nasi goreng. Pake spesial gitu. Argh! Gue bingung mesti bilang apa. Bikin orang pusing aja.

"Aneh emang gue baru bilang ini sekarang. Tapi, gue suka sama lo sejak kita di BEM."

Gue dan Lucas emang pernah satu organisasi. Gue bendahara, sedangkan dia wakil guberbur. Oh iya, di kampus gue ketua BEM disebut gubernur ya.

"Gimana, ya, Cas. Gue," ucap gue menggantung.

"Lo suka sama orang lain, kan?" tebak Lucas.

"Sorry banget."

"It's okay. Gue udah tahu lo bakal nolak kok. Mana bisa gue kalah dari suami lo, Pak Liam."

Mata gue membelalak. "Lucas, lo tau?"

"Lo pikir, apa alasan gue bela lo pas masalah kemarin? Itu karena gue udah tau."

"Gue minta tolong, ya, jangan-"

"Iya. Gue bakal tutup mulut. Tapi, lo janji jangan ngejauh cuma karena gue jujur tentang perasaan gue ini."

"Oke. Makasih-"

"Awas," potong Lucas sambil menarik lengan gue. Membuat tubuh gue mendekat ke arahnya. Tidak terlalu dekat, hanya saja sedikit aneh buat gue di posisi seperti ini.

"Gila, masuk kafe keroyokan kayak mau tawuran," ucap Lucas pada gerombolan yang baru saja masuk. Tentu saja itu tidak di dengar oleh mereka.

"Lo gapapa?"

"Taran," panggil seseorang dengan suara berat menyela gue untuk menjawab pertanyaan Lucas.

"Pak," ucap gue lirih.

"Pak Liam, selamat malam," sapa Lucas dengan ramah meskipun Pak Liam terlihat tidak bersahabat.

"Malam."

"Kita pulang, sekarang," kata Pak Liam yang ditujukan pada gue, jelas.

"Iya."

"Lucas, thanks udah nemenin nunggu. Gue duluan," pamit gue ke Lucas.

"Oke, see you."

Setelah itu, gue buru-buru menyusul Pak Liam yang sudah berjalan lebih dulu. Dia juga masuk lebih dulu. Bahkan, sampai di parkiran apartemen Pak Liam tidak bicara sedikit pun sama gue. Dia marah?

"Mas, marah sama saya?" tanya gue begitu kami keluar dari lift.

Dia tetap diam sampai membuka pintu apartemen dan masuk duluan.

"Mas, jawab saya."

Gue menghadang dia, saat ini kami berada di ruang tengah.

"Saya percaya sama kamu. Tapi, kamu mengkhianati kepercayaan saya."

LIAM : My Crazy LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang