Pak Liam dan Kata Sayang

3.3K 165 19
                                    

Gue sudah bangun sejak tadi, tetapi gue masih berpura-pura tidur dengan kepala menyandar di pintu mobil. Beruntung ada bantal, kepala gue tidak perlu berperang dengan pintu mobil. Jadi, penyamaran gue aman. Semoga.

Kenapa gue berpura-pura tidur? Asli, gue merasa canggung tiap kali habis berhubungan intim dengan Pak Liam. Masih ada aneh-anehnya gitu. Gue ngelakuin itu sama dosen gue sendiri!! Bayangkan!

Eh, kenapa mobilnya berhenti. Sudah sampai? Tapi, gue tidak merasa sedang di basement tempat parkir apartemen.

"Taran, sayang," ucap Pak Liam seraya mengelus pelan lengan gue.

"Hmmm," balas gue seolah-olah terusik tidurnya.

"Kita sudah sampai."

Gue membuka mata perlahan. Sebentar, ini bukan apartemen, rumah kami. Tapi, rumah mertua gue. Kenapa kesini?

"Kenapa ke sini? Eh, maksud saya, kenapa gak pulang dulu?"

"Papa, Mama, pulang kemarin malam. Lalu, pagi ini pergi ke sini untuk makan bersama. Jadi, kita diminta kesini langsung."

"Oh, mereka pulang."

"Mama, Papa? Balik ke Bogor?!" tanya gue setelah sadar sepenuhnya dengan ucapan Pak Liam.

"Iya, kan tadi saya sudah bilang."

"Kok saya malah gak tau? Kenapa yang dikasih tau malah Mas?"

"Kamu yang tidak bisa dihubungi."

Gue pun segera mengecek ponsel kesayangan gue.

"Eh, kok mati." Ternyata baterai ponsel gue habis, seperti tuannya yang tenaganya habis karena ulah manusia tampan di sebelah gue.

"Ayo, masuk."

Gue pun mengikuti Pak Liam masuk ke rumah mertua gue. Ruang tamu sepi, begitupun ruang keluarga. Namun, gue mulai mendengar suara dari arah dapur dan ruang makan.

Satu. Dua. Tiga.

"Mama!" teriak gue tatkala mendapati Mama sedang asik masak dan berbincang dengan Bunda. Gue pun memeluk orang paling istimewa di dunia gue setelah tidak bertemu berbulan-bulan. Terakhir ya waktu gue nikah.

"Heh, gak malu sama suami dan mertua?" tanya Mama begitu melepas pelukan gue. Iya, cuma gue yang meluk.

Gue cemberut. Mama tidak tahu betapa kangennya gue. Dasar lupa anak!

"Eh, sebentar."

Gue mengerutkan kening, terlebih Mama mulai menatap gue dari atas ke bawah.

"Kamu pakai baju punya Liam?"

Pertanyaan Mama sukses membuat semua fokus pada gue. Bisa gue rasakan meskipun gue tidak lihat.

"Eh, iya. Itu kemeja favorit Liam, lho," imbuh Bunda.

"Oh, jadi gitu yang habis dari hotel," ucap seseorang yang sangat familiar di telinga gue. Riri yang sepertinya menjadi laknat ketika berada di keluarga gue.

"Wahh, sepertinya kita bakal ada rejeki, Ma," ucap Papa.

"Akhirnya, jadi simbah juga ya, Bun," tambah Ayah.

Sialan! Gara-gara Riri laknat.

"Liam sama Taran pulang saja kalau malah begini," kata Pak Liam tegas. Dasar, padahal sedang bicara dengan orang tua.

"Oh, mau dilanjut ya, Mas?" tanya Riri yang makin memperkeruh suasana canggung bagi gue.

"Kami pulang saja," ucap Pak Liam sambil menatap gue.

LIAM : My Crazy LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang