1.

13.4K 1K 28
                                    

"MAMA! ARSA TELAT!"

Suara melengking dari atas sana membuat acara ngopi Ayah seperti berada di sebuah hutan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Arsa. Sosok yang kini menggunakan seragam putih abu-abu itu turun dengan tergesa, dasi yang melingkar dilehernya diikat tak tentu arah.

Mendekat kearah Mama yang masih sibuk menggoreng kerupuk namun sebelumnya ia sudah mengetuk dahi sosok yang lebih tua 1 tahun darinya, memang seperti kebiasaan setiap bangun pagi menjahili sang abang.

Bima sudah menggerutu, setelah menelan habis roti selai srikaya di mulutnya ia beranjak untuk membalas dendam. Ia memilin telinga Arsa dengan tidak kasihan nya membuat sang korban mengadu.

"Mama! Abang tu!" Arsa menunjuk Bima tepat diwajahnya.

"Apa? gue ganteng? dari dulu" celetuk Bima

"Sudah-sudah, Arsa cepat sarapan. Katanya telat?" ujar Mama.

Arsa yang sudah didorong Mama menuju meja makan hanya bisa melayangkan tatapan tajam pada abangnya.

Sebenarnya Arsa juga tidak takut jika datang terlambat, walaupun hari ini adalah hari pertamanya memasuki sekolah menengah atas ia tidak khawatir sama sekali karena ada Bima yang akan menjaganya selama perkenalan sekolah, berhubung abangnya itu adalah ketua panitia MOS.

"Cepetan ngunyah nya sa!"

Arsa mencibir setelah mendengar itu. "Eh, bang. Lu gak pernah baca berita ya? Nguyah tu harusnya 32 kali wajar gue lambat begini"

"Alasan lo aja pengen telat, awas aja lo kalau telat bawa-bawa nama gue" jawab Bima.

Ayah memijat pelipisnya, benar-benar acara minum kopi yang buruk. Ayah yang sebelumnya ingin bersantai ria dihari libur kerja dibuat lelah sendiri pagi-pagi sudah mendengar celotehan kedua anaknya.

"Ayah, Mama. Bima berangkat ya.." Bima beranjak dari kursinya, kunci motor yang berada disaku ia keluarkan.

"Eh, Bang. tungguin gue!" Arsa berteriak keras walaupun mulutnya masih sibuk mengunyah roti.

"Sama Ayah aja, gue dah telat banget" jawab Bima pun ikut berteriak karena ia sudah berada di garasi rumah.

Arsa berdecak sebal, wajahnya berubah kusut. Ia jadi tidak berselera makan kali ini.

"Udah Arsa diantar sama ayah aja ya.." ujar Mama, ia mencubit pipi Arsa dengan gemas.

Arsa menghela nafas pasrah. Padahal ia ingat betul Bima sudah berjanji padanya akan berangkat bersama, ujung-ujungnya sama Ayah lagi.

Setelah menyelesaikan sarapannya ia masuk kedalam mobil Ayah, bantal leher berwarna pink hadiah dari Mama selalu menjadi favoritnya untuk tidur menunggu mobil itu sampai ke tujuan.

SMA megah nan luas itu terletak di tengah ibukota, orang-orang sudah mengenal sekolah itu sebagai sekolah favorit dimana nilai dan eksis adalah tahta tertinggi disini. Hanya murid  terpilih yang bisa masuk ke sekolah ini, sebagian besar adalah murid-murid yang cukup berprestasi sejak SMP.

Namun berbeda dengan Arsa, jika saja Bima tidak mati-matian mengajarkan dirinya ia tidak akan lolos diseleksi saat itu. Abangnya memang sangat ingin dirinya berada disana, segala mengatakan masa depan cerah jika belajar disana, cih. Arsa tidak percaya dengan begituan.

Sebagus apapun sekolah itu, pasti tidak semua murid semuanya pintar dan teladan. Beberapa dari mereka bisa saja sedang dalam mode beruntung saat seleksi dan sebagiannya masuk karena memiliki kenalan dekat.

"Jangan nakal ya.." ucap Ayah setelah Arsa mencium tangannya.

"Sejak kapan Arsa nakal? Arsa kan anak baik, anaknya siapa hayo?"

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang